Kamis, 21 Juni 2012

Em ha...ha...ha

Raden Katong, Kyai Mirah, Patih Seloaji dan Ki Suromenggolo sedang mengadakan pembicaraan serius di sebuah surau. Kali ini berbicara tentang gelar palsu yang digunakan oleh pejabat di kadipaten. “Penggunaan gelar palsu itu, sambungnya, akan berdampak terhadap citra birokrasi pemerintah di daerah, dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tidak optimal karena perintah atasan tidak akan ditaati oleh bawahannya. Karena apa, lho lah iya ta, lha wong pejabatnya saja tidak tertib hukum kok, mosok kuliah saja gak tahu, SMP dan SMA nya saja Cuma persamaan, lha kok ujuk-ujuk dapat gelar SH, MH, MSi. Orang normal yang cerdas saja sulit menempuh dan meraih gelar sebanyak itu dalam kurun waktu secepat itu, apalagi yang sekolahnya saja nggak beres, baca Pancasila saja nggak becus, ini mesti ada yang nggak beres, tolong paman Suromenggolo sampeyan telisik kebejatan moral iki?”
“Kasinggihan Raden, …ini merupakan prestasi kepemimpinan yang amat buruk, bahkan kepemimpinan amburadul, ngawur, ngisin-isini, seorang pejabat tinggi sudah ngajari tidak jujur, ngajari bohong kepada rakyatnya. Ini pertanda bahwa pemerintah daerah bakal hancur , rusak, Ini perlu segera ada langkah konkrit dari Gubernur untuk mengganti pejabat-pejabat yang menggunakan gelar palsu tersebut, kemudian memprosesnya sesuai ketentuan yang berlaku , Raden!!” , kata Suromenggolo geram.
“ Begini lho Raden,  sesuai UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemakai gelar palsu diancam denda Rp2 miliar dan hukuman penjara 10 tahun. Berita ini, dari sudut penjual dan pembeli gelar, merupakan suatu berita yang menyayat hati. Tatkala ijazah sebagai lambang formal, sebagai bukti otentik bukti yang diakui keabsahannya secara hukum, secara formil yuridis sah, tetapi secara materiil tidak mempunyai nilai bahkan nol besar. Maka orang yang waras mestinya malu memakai gelar palsu ini. Sebab saya yakin kalau hati nuraninya mau dikedepankan maka ‘ menipu diri’ seperti yang pernah ditulis dalam harian local lalu pasti tidak bakal terjadi. Namun demikian Raden, secara psikologis orang-orang berbuat nekad demikian ini lantaran;
1.      Adanya kepribadian yang tidak merasa salah dan tidak malu jika meraih gelar impian dengan cara yang tidak perlu usaha banyak.
2.      Adanya kepribadian narsistik, yaitu gangguan kepribadian yang ditandai dengan perasaan superior bahwa dirinya yang paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi, disanjung, kurang empathy, angkuh dan selalu berasa bahwa dirinya layak untuk diperlalukan berbeda dengan dengan orang lain. Perasaan-perasaan tersebut mendorong orang tersebut untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan cara apapun, misalnya untuk mendapatkan gelar.  Jika sudah mendapatkannya maka orang tersebut akan sangat senang memamerkan gelarnya demi untuk membangkitkan rasa superior tersebut.” Aku memang jegeg, gak ada yang menandingi!”
3.      Adanya kepribadian yang sangat ingin dikagumi.  Pada umumnya para pembeli gelar adalah para individu yang sangat ingin dikagumi orang lain.  Oleh karena itu mereka berusaha keras untuk mendapatkan “simbol-simbol status” yang dianggap menjadi suatu pengangkat derajat sehingga dikagumi.  Obsesi untuk dikagumi ini sayangnya seringkali tidak seimbang dengan kapasitas (kompetensi sang individu tersebut), misalnya tidak memenuhi syarat jika harus menjalani program pendidikan yang sesungguhnya sehingga akhirnya memilih jalan pintas untuk mendapatkan gelar yang menjadi alat untuk dikagumi itu. Maka jika pakai gelar SH, ya hanya Sarjana Hiburan saja. Atau jika pakai gelar MH, ya sebatas Megister Hampa, alias Megister Hadiah saja. Kosong blong, seperti genthong bolong.
4.      Adanya kepribadian yang angkuh dan sensitif terhadap kritik.  Pada umumnya para penyandang gelar palsu adalah orang-orang yang angkuh dan sensitif terhadap kritik sehingga mereka tidak mau menjalani jalur studi yang umum karena harus melewati proses yang panjang dan seringkali diperhadapkan dengan perdebatan untuk mempertanggungjawabkan pandangannya dalam kelas diskusi atau presentasi.   Seringkali alasan dari para pemilik kepribadian yang angkuh dan sensitif terhadap kritik ini adalah tidak adanya waktu untuk belajar secara normal karena sibuk, padahal sebenarnya hal itu hanya kedok untuk menutup kebodohan pribadinya saja.  Hal itu dapat kita lihat dari kehidupan sehari-hari dari para pribadi yang rusak ini, yaitu angkuh ,sangat sensitif terhadap kritik, bodoh, dhedhel, mudah dikibulin, serakah, rakus, suka berbohong, pinter selingkuh, dan boros.  Jika hal ini dibiarkan terjadi maka orang-orang seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa untuk orang lain, apalagi untuk pemerintah daerah, eeee… sebaliknya malah hanya akan merusak tatanan sosial karena berani-beraninya menggunakan gelar palsu!!” jelas Kyai Mirah mengingatkan.