Jumat, 14 Januari 2011

Tamsil Burung Beo Ki Setyo Handono

Pagi itu, burung Kepodang, Prenjak, dan Kutilang tengah asyik bercengkerama di atas dahan pohon beringin. Tubuhnya meliuk menukik, memamerkan tubuh eloknya di semak daun beringin yang mulai tumbuh menghijau. Bulunya masih Nampak mengkilap. Si Prenjak yang dipasrahi nunggu Beringin oleh bangsa burung itu melompat ke sana kemari mencari perhatian. Sedangkan Kutilang dan Kepodang memilih bertengger agak jauh , ia serius membicarakan sesuatu.
“Sebentar lagi Negeri Burung Merak akan menghelat pemilu kada lho” ujar Kutilang mengingatkan
“Ya, kita sudah lama nggak berkuasa. Ingin rasanya kita yang tinggal di pohon beringin ini kembali berkuasa, tapi kita nggak punya jago, nih?!, terus kira-kira siapa yang bisa menggaet masyarakat bawah nanti?”
“Gampang, dia adalah tokoh masyarakat yang pernah ‘duduk-duduk’ di pemerintahan, dia nggak usah pinter-pinter, yang penting merakyat!!” jawab Kepodang berargumen ngawur
“Apa kriteria merakyat itu?”
“Alaah.. gitu aja kok repot. Merakyat itu kalau diundang kenduri, slametan, mantenan, sunatan ya datang. Kalau diajak pesta miras, judi, …ya datang, itulah merakyat yang sesungguhnya…” jelas Kepodang super ngawur
“Wah, jawabanmu memang lumayan gila. Cuma persoalannya kalau dia nanti jadi beneran gimana?” Tanya Kutilang meragukan
“Gampang, nanti kita bentuk tim ahli, atau kabag-kabag yang mendampingi sang bupati” jawab Kepodang singkat
“Wah, itupun juga masih meragukan, sekarang coba sampeyan bayangkan, jika sang bupati itu juga ternyata nggak bisa menjabarkan program, nggak mampu membaca program, nggak menguasai aplikasi program, dan nggak mengerti apa itu program, terus bagaimana anak buahnya menjalankan program????” jawab Kutilang sengit
“Kutilang yang baik hati, ini adalah dunia politik, dunia curang, dunia apus-apus,… sudahlah, sampeyan jangan termakan teori-teori menyesatkan. Sekarang ini yang penting adalah berkuasa dulu. Kita bohongi masyarakat, kita suap tokoh-tokoh masyarakat untuk memuluskan rencana kita. Titik !!!”
“Terus, siapa kira-kira tokoh yang sampeyan kriteriakan lagi?”
“Burung Beo !!!!”
“Haaa!!!!, sampeyan itu apa nggak berfikir to, Si Beo itu Cuma bisa ngomong Assalamu’ alaikum dan ‘selamat pagi doang’, benar dia mau datang di mantenan, di kenduri, di sunatan, dan lain-lain tapi sekolahnya, ijazahnya instan, beli doang..”
“Stttt, jangan seru-seru….!!!, ini po-li-tik!!!, sudahlah kamu jangan panik, jangan stress, nanti biar aku yang bergerilya meyakinkan Si Beo di desa-desa” ujar Kepodang meyakinkan
“Terus akan dipasangkan dengan siapa??”
“Agar formasi politik tingkat tinggi ini jreng, akan aku sandingkan dengan Si Prenjak. Pertimbangan saya, dia itu cantik, istrinya burung kaya, sedang menguasai pohon beringin, dan bisa menarik kaum muda, …karena dia itu artis dangdut lo…”
“Tapi, dia itu kan ya sama saja dengan Si Beo ??”
“Ealaaah, sampeyan itu ndak mudeng-mudeng juga, ini namanya politik tingkat tinggi tau !!!”
***
Kocap kacarito !
Si Beo dan Si Prenjak kini telah bertengger di sangkar emas. Kebiasaan menghadiri undangan mantenan, khitanan, sunatan, dan kenduri tak pernah lepas darinya. Gelar merakyat semakin menggila. Setiap kali ada pertanyaan apapun, baik dari sekda, kabag, staf, camat, lurah, RT, RW-, maupun dengan lapisan masyarakat bawah, maka selalu ia jawab ‘assalamu’alaikum’ dan ‘selamat pagi’
Itulah tamsil beo, pinter ngomong tetapi nggak tahu maksudnya
Dikagumi banyak orang hanya bermodalkan bisa menirukan suara manusia
Ia bisa menirukan salamnya manusia, karena ia sering mendengarnya
Bangsa manusia pun sebentar kagum,
Tapi.. lama-lama bosan juga
Karena kata-katanya itu-itu saja
Ada kata tapi tiAda makna
Beo jadi
Pajangan
Suara
saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar