Jumat, 05 Februari 2010

Kurban jadi Kurban

Kumandang tahlil dan tahmid terdengar menggema se antero Trajutrisna. Hujan pertama yang amat deras tidak mengurangi semangat mereka menggemakan kalimat-kalimat suci tersebut. Sementara dari balik tembok yang megah, nampak bandit –bandit tengah mengatur strategi untuk mendapatkan keuntungan dari moment tersebut, mulai dari mengkoordinir barisan pengemis hingga pasukan pencari daging kurban. Tujuannya satu, yaitu mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Lantas bagaimana tanggapan Prabu Bomanarakasura tentang hal ini?. Beliau menanggapi dingin-dingin saja. Bahkan Prabu Bomanarakasura nggak tanggap dengan yang demikian, karena beliau sibuk dengan urusan pribadinya. Malah kini dikabarkan dia sedang berlibur menghabiskan uang negara ke kahyangan. Dia saingan dengan anggota dewan yang suka menghambur-hamburkan uang rakyat.
Memang, hukum di negeri Trajutrisna amat berpihak kepada penguasa dan orang berduit. Hukum ramah dengan kaum kapitalis dan kejam kepada rakyat jelata. Itulah gambaran hukum di Trajutrisna yang penuh dengan manipulasi, membuat negeri Trajutrisna menjadi negara terkorup di jagad raya ini. Sehingga polisi, jaksa, pengacara, dan bandit, adalah simbiosis mutualisme yang saling memberi dan menerima keuntungan dari permainan perkara. Dan di sana biasa orang-orang yang sudah terbukti melanggar hukum bebas berkeliaran tanpa malu. Ingat kasusnya Anggada, Anggara, Anila, dan Anjani dalam memperebutkan cupumanik astagina, sehingga mereka dikutuk oleh dewata berubah menjadi kera.
Mudah-mudahan orang-orang yang suka berebut kekuasaan, dan mempermainkan hukum tidak lama lagi berubah jadi munyuk-munyuk yang tinggal di hutan belantara.
Sementara itu di Kahyangan Suralaya Prabu Boma nampak duduk di hadapan Pukulun Narada
”Weee, jebul jeneng kita iku durung wanuh karo Si Haknyanawati ta?”
”Injih pukulun”
”Terus apa penjaluke”
”Piyambakipun, nyuwun dipun damelaken margi ingkang lurus, datan menggak-menggok milai saking Giyantipura engga Trajutrisna..”
”Lho, apa dalan iku mau ora bakal ngliwati Astana Gada Madana, komplek pemakaman para satriya Mandura ta ngger?”
”Lha inggih menika pukulun ingkang adamel pikiran kula was sumelang. Awit menawi menika kalampahan, tumus bade adamel dredah kaliyan kadang-kadang Pandawa.....”
”Waaah iki gawat ngger, ulun ora sarujuk menewa jeneng kita ngeyel mbangun dalan mau mung amarga nuruti garwanira Si Haknyanawati”
”Nanging menawi kula mboten saged nyagahi ateges kula pepisahan kaliyan piyambakipun, niku sami kemawon panjenengan njlomprongaken kula pukulun?”
”Wah jeneng kita iku yen ngono dadi titah sing seneng ngeyel, wis yen ngono, balia wae, ulun males omong-omongan karo kowe, apa dikira wanita iku mung Si Haknyanawati sing gelem karo sira, nggoleka bojo liya wae...”
Prabu Bomanarakasura merasa tidak ada dukungan dari dewata. Ia kemudian berpamitan meninggalkan Suralaya. Ia memutuskan pulang ke rumah ibundanya Bathari Pertiwi di Kahyangan Ekopratolo, di dasar bumi. Sebuah perjalanan yang sangat berbahaya. Karena di dasar bumi sudah banyak mengalami kerusakan. Mulai dari bocornya lumpur di mana-mana, hingga terjadinya patahan bumi yang menyebabkan gempa dahsyat yang menimpa di kawasan selatan negara Trajutrisna.
Kita tinggalkan dulu kebrangkatan Prabu Bomanarakasura menuju Kahyangan Ekopratolo. Kita lihat kembali perjalanan Ditya Satrutapa dan Ditya Satrutama beserta Patih Pancatnyana. Dari kejauhan mereka bertiga nampak tengah menggerakkan alat-alat berat untuk membuat proyek jalan tol . Sebuah proyek ambisius setara dengan ’cassing’atau proyek ’pamer penampilan’ dengan menghambur-hamburkan uang mengabaikan manfaat, musyawarah dan kebutuhan manusia di dalamnya. Ditya Satrutapa nampak menyetir bolduzer, sedangkan Dityo Satrutama tengah menyetir truk trailer mengangkut guguran tanah , sedangkan Patih Pancatnyana nampak memilih menjadi mandor atau kepala proyek dengan duduk sambil memegangi kepalanya.
”Kenapa kakang patih?”
”Wah kepalaku lagi sakit, kayaknya darah tinggiku kumat, kambuh” jelas Pancatnyana sambil memegangi kepalanya.
”Bibar dhahar menapa Patih”
”Bar mangan daging wedhus sepuluh paket”
”Welhadalah, sampeyan niku mentang-mentang tumut kurban, eh malah dados kurban, dhahare paket kekathahen gusti ..”

Boma Ora Trima Ki Setyo Handono

Tersebutlah sebuah kisah ada sepasang Dewa dan Dewi konangan berduaan di sebuah kafe remang-remang ndik Kahyangan sana. Kedua pasang dewa itu bernama Bathara Wulan Derma, dan Bathari Wulan Dermi. Anak dari Bathara Darma, dewa yang mengatur gunung Junggiri Swargaloka. Mereka berdua sebenarnya kakak beradik. Akan tetapi karena ayahnya sibuk sendiri, dan dia sering keluyuran berdua, maka suatu hari dia digoda iblis, dan terjadilah pergaulan bebas di kafe remang-remang. Sang Hyang Wenang yang menguasai pimpinan pusat (PP) Kahyangan amat murka dengannya. Maka berdasar surat keputusan senator Kahyangan Suralaya, sepasang dewa yang lagi kasmaran tersebut dikeluarkan dari kahyangan, dan harus menjalani menjadi dewa luar biasa, sejajar dengan titah manusia yang lainnya.
“Jeneng kita sakaloron bakal ulun titisken kepada anak turune Sri Kresna, oleh karena itu sana cari tempatmu menitis di Ngercapada, ulun mung ndongakake muga sira antuk basuki” pinta Dewa Narada sekretaris kahyangan.
Sebelum mereka berpencar, keduanya sudah berjanji untuk sehidup semati membangun mahligai rumah tangga. a dia akan berusaha mencari dan bertemu kapan dan dimana saja. Tan kocapo setelah sepasang kekasih itu turun berpencar, mereka segera mencari anak keturunan Bathara Wisnu alias Kresna. Sang pemuda dewa bertemu dengan Prabu Bomanarakasura, maka dia memutuskan untuk masuk ke dalam raganya.
Nuju ari Soma Manis, akhirnya kedua insan lain jenis yang ketitisan saudara sekandung itu bertemu kembali. Sri Bathara Kresna dan istrinya Bathari Pertiwi segera menikahkan Bomanarakasura dengan Dewi Haknyanawati alias Dewi Mustikawati. Sebuah prosesi pernikahan yang mengundang tokoh-tokoh wayang seantero jagad pewayangan.
Ketika resepsi pernikahan dilaksanakan, tiba-tiba Dewi Haknyanawati melihat ketampanan Raden Samba yang tengah foto bareng di sampingnya. Kontan menjadi goncang hatinya. Kemudian ia berlari menyembah dan memeluk Raden Samba. Prabu Bomanarakasura naik pitam dan marah besar. Ia merasa dipermalukan oleh kekasihnya. Sedangkan Dewi Haknyanawati ingin meralat surat perjanjiannya, dia ingin asmaranya diluruskan, karena selama ini adalah hubungan yang melanggar norma agama. Hubungan kakak dan adik.Dan ternyata cowok tampan itupun ternyata juga putra Sri Kresna, apa salahnya jika ia menyatu dengan Raden Samba.
“Wah kamu itu benar-benar ndak bisa dipercaya, Samba itu adikku lho, kamu kok tega-teganya mengingkariku, he !, coba ‘perhatikan tulisan Anda’ ” Sergah Prabu Boma sambil memperlihatkan secarik daun lontar bermaterai, yang berisi perjanjian asmara antara keduanya.
Dewi Haknyanawati tidak ngrewes semua ucapan Bomanarakasura. Dia selalu membelakangi ketika berdialog. Dan itu berlangsung hingga sekarang. Hal itulah yang membuat Prabu Boma tidak bahagia. Bahkan terdengar kabar kalau Haknyanawati telah menjalin hubungan khusus dengan Raden Samba.

Hanjrah ingkang puspitarum, kasliring samirana mrik ...ooong, sekar gadung kongas gandanya, oooong..., maweh raras renaning driya ooong...

Prabu Boma akhirnya menempuh jalur hukum pergi ke rumah ayahnda dan ibundanya di Dwarawati dan Kahyangan Ekopratolo. Namun sebelum ke sana, ia memutuskan untuk pergi ke Kahyangan Suralaya, meminta rekomendasi dari Sang Hyang Guru sebagai pimpinan pusat (PP) kahyangan. Ia tidak lupa mampir dulu di kedai makanan khas Trajutrisna. Ia membeli enambelas besek sate ayam, dan camilan untuk mempermudah perundingan. Ia kemudian terbang mengangkasa dengan hilikopter basarnas. Tepat jam 9 pagi ia sudah mendarat di Kahyangan Suralaya.
Sementara di sana nampak Bathara Narada tengah membaca koran lokal. Dari bibirnya terlihat senyum mencibir tulisan menggelitik, miskin wawasan, dan ndak memahami karya sastra fiksi, ia memprediksi pastilah dia utusan dari seseorang yang tersinggung oleh karya fiksi tersebut. Menilik nama samaran penulisnya Dewa Syifa, pasti dewa bersih-bersih yang diutus memulihkan nama baik seseorang. Dan itulah menunjukkan bahwa dia memang berperilaku seperti itu. Bathara Narada tertawa terpingkal-pingkal ..”sak iki konangan kowe....” sergah Bathara Narada sambil menaruh koran di meja.
Baru saja Bathara Narada melipat koran dan menenggak secangkir kopi, tiba-tiba dari balik pintu muncul seorang tamu
”Eh mrekencog-mrekencong ana tamu nyelonong, nggawa tenong robyong-robyong gedhene sak genthong, ulun wespadakne iki kaya putu ulun Bomanerakasura, padha raharja ngger...”
”Pangestu pukulun, kalis nir ing sambekala”
”Eh njanur gunung, kowe mrene tanpa ulun timbali ana pari gawe apa Bo?, lha kok iki malah karo nggawa oleh-oleh sak mobil, apa kanggo pelicin piye?”
”Ah niki namung camilan sate khas Trajutrisna kelangenan pukulun Guru dalah Pukulun Kanekaputra...”
”Ah... you aja guyonan lho, ulun sakaloron sak iki iki, lagi berusaha menurunkan kolesterol karo darah tinggi, ulun nyuda daging karo asin-asin, dadi satemu iki ulun tampa wae, nanging ulun wis ora wani dhahar, wis sak iki kowe enggal matura, sebab ulun jam sepuluh mengko arep tindak mesjid khotbah Jumat....”

FUNGSI DAN PERAN PAGELARAN WAYANG PURWA BAGI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI BANGSA

Tiga pendapat budayawan di atas dapat dipastikan berlandas-kan pada hasil pengamatan mereka yang panjang dan serius terhadap pertunjukan wayang kulit purwa. Mudah-mudahan ketiga kelompok pendapat ini dapat mewakili acuan berpikir dalam diskusi.

Fungsi dan peran pertunjukan wayang purwa dapat dirinci sebagai:

1. sarana ungkap orang Jawa dalam memahami alam semesta, baik rohani maupun bendawi;
2. penghubung antara budaya tradisional klasik (baca kraton) dengan budaya tradisional kerakyatan; serta
3. frame of referance dalam mengeseimbangkan ekspresi moral (etika), keindahan seni (estetika), peribadatan (devosional), dan hiburan.

Pertunjukan wayang purwa sangat sarat dengan konsep hidup orang Jawa, di bidang politik pemerintahan (baca janturan pada jejer pertama).

Eksistensi Dalang
Eksistensi wayang sekarang bukan hanya terganggu oleh pendangkalan makna dan estetika belaka. Tingginya kualitas seni, dalam tataran bahasa dan filosofinya, juga mempersulit pemahaman kebanyakan orang awam. Jadi masalah kualitatif itu juga merupakan kendala tersendiri. Peran dalang yang paling menentukan juga berpengaruh terhadap kualitas pentas wayang dalam masyarakatnya. Salah satu ciri khas wayang sebagai teater tradisional adalah keterbukaannya terhadap kemungkinan berimprovisasi.
Cerita atau lakon boleh sama, diambil dari Ramayana atau Mahabharata. Tetapi setiap dalang punya ciri khasnya masing-masing dan memiliki kemampuan berimprovisasi yang berbeda. Ada dalang yang improvisasinya memperkuat daya tarik terhadap publiknya. Seperti joke, iringan gamelan, lakon-lakon carangan dsb. Namun ada pula dalang yang memiliki daya improvisasi yang lemah sehingga ia kurang atau tidak populer. Lemahnya daya tarik menyebabkan banyak dalang yang berguguran, tidak lagi ada penanggapnya.
Sangat menarik untuk ditilik, bahwa di Jawa Tengah, dalang-dalang pesisir minggir dan dalang - dalang dari pegunungan tetap bertahan bahkan mengalami suksesi atau regenerasi. Dalang-dalang wayang yang kini masih manggung (berpentas) adalah mereka yang berasal dari Surakarta, Yogyakarta dan Banyumas atau sekitarnya.
Banyak dalang misuwur berkat kecanggihannya, tetapi juga banyak dalang yang tidak mashur karena tidak mampu berimprovisasi. Dalam sejarah pewayangan di Indonesia, nama Ki Narto Sabdo merupakan sosok dalang wayang yang luar biasa daya pesonanya. Selain kemahirannya dalam gerak fisik (sabetan), ia juga sering menampilkan kemampuannya menguasai nilai-nilai filosofis dengan bahasa sastra jawa yang fasih. Ia menyajikan kemampuannya dengan lancar sekali. Setelah kepergian Ki Narto Sabdo, kita belum pernah punya dalang yang sekelas beliau.
Selain mumpuni dalam ilmu pewayangan, Ki Narto Sabdo yang pantas digelari Empu Dalang itu juga kreatif dan produktif, menghasilkan lagu-lagu ciptaannya sendiri, yang secara literer enak dinikmati juga punya daya hibur tersendiri. Nilai hiburannya itu hanya sebagai pembungkus nilai-nilai pedagogis yang terkandung di dalamnya.
Teori Pengembangan Sastra Pedalangan
Apabila kita cermati, sejak awal pertumbuhannya (Ramayana/Mahabarata) hingga dewasa (cerita yang dibawakan oleh dalang modern) boleh dikatakan semua cerita mengandung unsur kritik dan pesan sosial walau dengan tingkat intensitas yang berbeda. Ada yang tersembunyi, terang-terangan, keras, kasar, lembut, dan terputus-putus. Karena karya sastra pedalangan merupakan peniruan dari kejadian alam, sosial kemasyarakatan sebagaimana diisyaratkan dalam teori mimesis.
Ketika dalang menjadi anggota sosial masyarakat, kemudian terilhami oleh realitas sosial dan diekspresikan dalam bentuk karya, maka di sinilah sebenarnya tergambar kedekatan antara pengarang dan karyanya dengan kondisi sosial kemasyarakatannya. Dengan demikian karya sastra (pedalangan) mencerminkan latar belakang sosial pengarangnya. Kita ambil contoh, bagaimana Pramudya Ananta Toer mampu merefleksikan derita manusia Indonesia dalam zaman kolonial, zaman kemerdekaan, dan zaman rezim orde baru. Demikian halnya dengan karya sastra wayang yang ada di koran ini. Kemudian juga Saman (1998) pada tulisan ini yang dijadikan sebagai objek adalah kondisi sosial masyarakat di masa orde baru yang bengis, kejam, manipulatif, kolutif yang dibingkai atas nama pembangunan. Dan, oleh pengarangnya dibingkai dalam setting kehidupan mutahir, dengan menggambarkan lingkar sosial yang dibentengi aktivitas LSM yang menegakkan HAM dan jurnalistik dalam frame informasi besar globalisasi dan komunikasi
Teori sosial sastra berkaitan dengan teori Marxisme yang telah dikembangkan oleh G. Plekhanov. Dia mengatakan bahwa seni (sastra) adalah cermin kehidupan sosial, dan ada insting estetis yang sama sekali non sosial dan tak terikat pada kelas sosial tertentu. Umar Kayam menyinggung hubungan sastra dengan realitas sosial dalam kerangka struktural genetik.
Fungsi Sosial
Dialog pedalangan (sastra lisan) dalam lingkungan sosial masyarakat secara langsung atau tidak langsung akan berdampak dengan segala ekses yang akan ditimbulkannya. Oleh karena itu fungsi sosial pedalangan merupakan ukuran , yaitu sampai sejauh mana nilai sastra pedalangan berkaitan dengan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Fungsi sosial dalang dapat menjadi kontrol karena kritik-kritik sosial yang dikemukakannya. Dalam posisi yang demikianlah seringkali karya sastra mengalami berbagai bentuk pelarangan. Hal ini karena pemahaman yang sempit dan dangkal bagi orang yang merasa eksistensi/ jabatan/ kedudukannya terganggu.
Lebih dari itu, fungsi sosial sastra pedalangan menawarkan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang dapat diambil oleh pendengar/ pembacanya. Terhadap penggambaran/pengimajinasian kekerasan sekalipun. Karena sesungguhnya karya sastra khussusnya pedalangan tidak dimaksudkan untuk mengajarkan kekerasan. Tetapi sebaliknya, bagaimana dapat dipahami bahwa kekerasan, keculasan, pemerkosaan hak-hak, hanya melahirkan derita yang berkepanjangan. Dengan demikian sastra pedalangan berfungsi untuk menyebarkan nilai-nilai yang bersifat alternatif bagi nilai-nilai yang sedang berlangsung demi perubahan sosial yang lebih baik.