Senin, 15 Juni 2009

Penilaian Otentik

Wisanggeni terasa sudah ndak sabar ingin segera menemui orang yang berbadan tinggi tegap yang kata Mbah Semar dialah yang tahu dimana Bathara Guru bersembunyi. Namun niatnya terpaksa diurungkan karena ada ujian nasional yang tengah berlangsung seperti layaknya perang melawan teroris. Betapa tidak, lha wong ing atasnya ujian saja harus mengerahkan aparat kepolisian segala. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kejujuran itu sudah berada di titik nadir, bahkan sudah hilang.
Ujian sekarang identik dengan kecemasan dan ketakutan. Sekolah takut siswanya banyak yang tidak lulus, sehingga pihaknya ketahuan bahwa selama ini penyelenggaraan pendidikan di sekolahnya memang amburadul, jeblok, guru-gurunya tidak becus mencerdaskan siswanya, mungkin mereka hanya berorientasi penghasilan semata. Sehingga sekolah hanya dijadikan ’proyek untuk ngobyek’, ujian hanya dijadikan perangkap untuk menjaring dan menjerat murid-muridnya untuk ’les’ di tempat gurunya. ”Jangan salahkan guru kalo ujianmu nanti nilainya jelek”, itulah kata-kata pedas yang sering diucapkan oleh guru profesional yang pintar menyiasati kantongnya. Tak pelak orang tua siswa ada yang harus memutar otak agar anaknya tidak dikucilkan, dan ada yang cerdas dan memberikan komentarnya , bahwa hal itu menunjukkan kalau gurunya memang punya sertifikasi guru ndak becus mulang. Mereka jadi guru hanya agar terhindar dari kemiskinan saja.
Sedangkan dari pihak orang tua, kecemasan itu timbul lantaran biaya yang telah dikeluarkan untuk menyekolahkan anaknya sudah lumayan tinggi. Maka jika kelulusan itu tidak berpihak pada anaknya, maka apa kata lingkungan di sekitarnya, malulah awak.
Nah dari kondisi yang serba menegangkan inilah kemudian timbul rembuk-rembuk muslihat untuk menyiasati agar semuanya ’safe’, aman, dan datar-datar selalu. Kemudian lahirlah, kecurangan-kecurangan seperti; mencuri soal, SMS jawaban, joki-jokian, mengubah jawaban yang dilakukan oleh oknum panitia- yang sudah diatur sedemikian rupa secara terorganisir-, suara-suara sandi, dan perilaku menyimpang lainnya.
”Lha yen aku ora ngono ngger, pokoknya Si Gareng, Petruk dan Si Bagong benar-benar aku ajari tentang kehidupan nyata. Sehingga mereka menjadi manusia yang kompeten, ilmu pengetahuan yang aku beriken menjadi bermakna. Sistem evaluasi yang menggunakan objective test seperti yang dipakai unas sangat tidak memadai untuk dapet mengantarken siswa menjadi manusia yang berkompeten, yang menjadiken ilmu pengetahuannya bermakna untuk dirinya dan sesamanya”
”Makanya ke depan harus disiapken sistem evaluasi yang super efektif, yang didalemnya berisi prinsip-prinsip penilaian otentik, berupa konteks pembelajaran nyata. Lantas di dalamnya disusun model evaluasi yang mendorong siswa melakukan konstruk dan rekonstruksi pengetahuan secara otentik, menumbuhken disiplin mencari informasi pengetahuan, dan nilai-nilai untuk memecahken masalah. Bukan hanya memecahken masalah di sekolah, tetapi dalam kehidupan nyata di luar sekolahnya”
”Model penilaian otentik ini tidak mengandalken pemberian tanda dan skoring, salah atau benar, melainken menilai kondisi mentalitas kepribadian yang dilakukan dalam kehidupan yang nyata. Misalnya, menyelesaikan tugas memasak bakso, memperbaiki sepeda motor bobrok, membaca perilaku anak gelandangan, membaca akar permasalahan malas belajar dan pemecahannya dan sebagainya. Pokoknya penilaian otentik tidak mengedepanken tes objektif tetapi lebih mengedepanken model evaluasi terfokus, sehingga diketahui intensitas perkembangan pembelajaran siswa dalam periode tertentu. Jika strategi evaluasi menggunakan model penilaian otentik seperti itu, lebih bisa diharapkan pendidikan di Ngamarta benar-benar menghasilkan manusia-manusia yang kompeten.

Cafe Remang Tumpang Sari

Hari telah menggapai remang. Pemandangan berubah menjadi bayang-bayang. Buruh tani, pedagang dan para makelar nampak pulang. Diusapnya peluh yang keluar di sepanjang siang. Jalan protokol sedikit lengang. Nampak di sebuah sudut jalan -di ujung timur pusat kota-, para ’mucikari’ cafe remang bersiaga menyiapkan bilik-bilik mesumnya. Mereka sengaja menjajakan tirai bambu lesehan sekaligus untuk memberikan kesempatan pada para burung dara dan generasi gaul untuk bergaul dan menggauli sepuas hati para kekasihnya di balik tirai bambu tersebut.
Memang, para mucikari cafe tersebut sadar terhadap usaha dan efek samping yang ditimbulkan, tetapi itulah sebuah umpan jitu untuk melariskan usahanya. Hanya dengan bekal umpan secangkir kopi maka kepuasan kenikmatan akan didapat dengan menggeliat bak ulat yang terkena pukat. Pemuda pemudi terpikat mengumbar syahwat, di bilik sekat yang aman dari aparat.
Sementara malam semakin pekat. Lalat-lalat mendendangkan lagu campursari semakin lekat. Lewat dinding bersekat, empat mata saling memadu. Nasi Pecel tumpang sari hanya hiasan. Jim setan brakasaan, ilu-ilu banaspati membakar birahi. Aroma sambal di meja, telah mengucurkan air liur yang mengucur di tubuh sekujur. Empat hasta menjulur, menjalar, merayap menyusuri gudang-gudang amunisi. Tertangkap satu persatu agen rahasia. Terlihat ada beberapa tempat terkena metraliur, dan babak belur. Lunturlah bedak dan lulur. Yang terdengar hanya rintihan sambal pecel. Mereka memohon jangan diabaikan, karena sebentar lagi basi. Apa kata sambal ”Lebih cepat lebih baik !!” , ”Ah Lanjutkan !!!, kalau perlu kalian berdua sering-seringlah ke sini, sampaikan pula pada teman-teman, kalau di sini aman dan nyaman lho, sudahlah lanjutkan, ... lanjutkan !!” kata mucikari cafe lantang, dan setengah berpromosi.
Begitulah genderang perang urap sarap tengah terjadi. Cafe remang telah menyimpang menjadi bilik mesum yang berkedok angkring yang menjajakan aneka makanan dan aneka hiburan tembang-tembang. Tak kurang tembang campursari selalu menandai percampuran darah-darah birahi, antara dua kader belia , tak peduli apakah mereka masih mengenakan simbol-simbol agamis atau tidak, kini yang ada hanyalah atas kerudung bawah warung, sehingga syahdunya tembang campur sari berubah menjadi dendang tumpangsari.
Sedangkan keberadaan bilik-bilik bambu yang sengaja disulap menutupi setengah badan orang berdiri itu berubah menjadi bilik nafsu, yang memanjakan kebebasan antara dua insan berlainan busana dan kepala. Dan itu sudah menjadi pemandangan lumrah bila kita singgah di cafe remang. Di sana akan ada sepasang burung kepodang yang tengah masuk gudang, sayapnya grayang-grayang meraih pisang, paruhnya muncu-muncu beradu.
”Ngger wadukku sudah terasa laper?” kata Semar mengajak Wisanggeni nyari warung terdekat
”Mbah ndik sini itu nggak ada warung, yang ada cuman cafe”

Semar nampak mengernyitkan dahi tanda ndak terlalu paham dengan istilah asing yang baru saja disampaiken Wisanggeni.

”Mbah kalau sampeyan mau makan jangan di Cafe, di sana lampunya nggak terang, aku kuwatir nanti Simbah salah makan. Salah-salah yang diduduki bukannya kursi, tapi tamu yang tengah tiduran, atau anak-anak muda yang tengah memadu asmara. Habis gelap sih di sana”
”Eh ngono ngger, ya ta , yen ngono hayo nggolek warung liyane wae”
”Hiya Mbah, daripada mata simbah jelalatan memang lebih baik begitu”

Keduanya segera meninggalkan Cafe Tumpangsari yang berada di perempatan kota sebelah timur ,negeri Ngamarta. Keduanya naik becak ke arah barat. Tidak lama keduanya sudah tiba di jalan baru. Wisanggeni menunjukkan deretan warung lesehan dengan pramusaji perawan-perawan belia lajang, yang sengaja dipajang untuk umpan para pemuda belang. Mereka nampak akrab dan lengket kepada siapa saja yang menggodanya. Mereka tidak risih ’ngamplok’ di atas sepeda motor, bersama pemuda kenalannya. Seakan seluruh anggota badannya bisa menempel di mana saja. Hal itu tentu saja membuat air liur Ki Lurah Semar mengalir deras. Ia melihat sambil membayangkan ketika pertama kali bertemu dengan Dewi Kanestren, di kahyangan sana.
”Ayo Mbah pecele disikat !!” ujar Wisanggeni membuyarkan lamunan
”Eh hiya thole !, aku kok malah nglamun” sergah Semar tersipu malu.
”Yah, begitulah Mbah, pemuda sekarang, kata mereka perempuan itu ibarat busana. Jadi kalau dia mau tahu perempuan dia mencobanya dulu..”
”Eh iblis laknat !!, muga-muga aja nganti tumurun marang kowe lan anak putuku. Wis ngger hayo enggal nyingkir ka kene, hayo sowan ning Praja Ngamarta wae, selak wengi..”
”Oh hiya mbah, hayo ”

100 % Ndak Lulus ??

Oooong surem-surem diwangkara kinkin, lir manguswa kang layon, denya ilang kang memanise, wadananira layung kumel kucem rahnya maratani, oooong......

Pagi umun-umun Bu Guru Limbuk nampak murung. Secangkir kopi yang ada di atas meja kerjanya masih nampak utuh. Bu Cangik yang menyaksikan perubahan pada diri Limbuk , ikut menjadi bingung. Didekatinya anak semata wayangnya itu.
“Ora ngono lho Nduk, Simbok mirsani awakmu pagi ini kok kelihatan methuthut, ora semangat kaya dina padatan. Simbok jadi bingung, sebenarnya ada apa ?, apa kamu pingin rabi?, terus kira-kira pacarmu iku bocah ngendi, anake sapa, wis nyambut gawe durung?, nggantheng apa ora?”
“Ah ora kok Yung, aku susah karena tiba-tiba hatiku jadi gundhah memikirkan nasibnya bocah-bocah, muridku SMA”
“Ana apa murid-muridmu Ngger ?”
“Sedela engkas kan pengumuman ta Biyung, aku kuwatir, kepriye mengko yen akeh sing ora lulus”
“Aku iki jian nggumun kok Ngger karo guru zaman sak iki. Sakjanya ngono kurang apa, gaji, fasilitas, dan lain-lain, kabeh wis cumepak komplit-plit , malah wis pada lulus sertifikasi, nanging kena apa kok durung bisa memotivasi murid-muride dadi semangat belajar, hidup madiri, cerdas dan trampil, terus gaji sing gedhe mau kanggo apa, malah kaya awakmu iki lho, sing jenenge rencana pembelajaran wae ora tahu nggawe, terus muridmu iku mbok program kepriye?, lha yen awakmu dadi guru propesional, mestinya ndak akan sebingung itu, tetapi akan enjoy menghadapi semuanya. Lha yen murid-muridmu banyak yang ndak lulus, berarti keprofesionalan guru sing lumantar sertifikasi mau mung apus-apus. Kowe sak kancamu mau mung sir gajine, nanging nglirwakake gaweane, ilinga ya Ngger, Simbok ora rila menaawa jejibahan kang luhur iki mbok kianati, kowe kudu sadar yen kaya mangkono mau berakibat rezeki pengasilanmu mau ora barokah, ora kalal, lan bisa njalari anak didikmu ora pinter, malah dadi mbandhel”
“Bener kok Yung. Aku ya sering ngudarasa, menawa anak didik mbandhel, bodho lan ora pinter mau akeh sithik ya saka faktor gurune kok Yung”
“Ya aja gurune thok, lingkungan keluarga, masyarakat, lan perundang-undangan pendidikan barang ya ndukung terciptanya keadaan yang seperti ini, oleh karena itu yang penting niatmu kudu dibarengi karo perbuatan nyata yang tulus dan iklas memajukan pendidikan..”
“Iya Yung, malah aku dhek wingi uga melu workshop KTSP, quantum teaching, pelatihan EQ, micro teaching, peer teaching...”
“Simbok sing penting ngajab aja nganti pendidikan dadi tai kucing Nduk, sebab yen cing ...cing sing kaya mbok kandakne mau mung di eloni krana milik sertifikate wae, mula sertipikatmu mau klebu sertipikat tai kucing”
“Kok bisa Mbok”
“Lho la iya ta, lha wong tai kucing kae bentuke kaya coklat, nanging rasane ya kaya ngana kae, lagi ambune wae ka kadohan byuh ... ora kuwat Simbok !, tak kira ya kaya mau sanepanne ngelmu kang mubadir, ora ngerti trap-trapane lan kanggone. Mula ya Ngger ya, yen ana seminar, workshop, pelatihan, aja mung nggolek sertipikate, nanging regemen ngelmune ”
“Iya Yung, nanging coba ta delengen iki lho ana berita” pinta Limbuk sambil menyodorkan koran barunya.
Mami Cangik kelihatan ndak mudeng dengan berita yang disodorkan anaknya.
“Ini lho Yung, murid-muridku SMA ?”
“Yang mana?”
“Lihatlah di halaman depan”
“Endi ta Nduk?”
“Iki lho, Peserta Unas SMA Negri Dakjal Laknat, tidak lulus 100%!!”
“Haaa ???”
Mami Cangik seakan ndak percaya atas musibah yang menimpa para siswa SMA tersebut. Dia ikut menanggung cemas dan malu, sebab Limbuk anaknya adalah wakasek urusan kurikulum yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pembelajaran di sekolah tersebut. Mami Cangik hanya mondar-mandir mengelilingi ruangan. Sedangkan Limbuk sentres berat berguling-guling di dipan dalam kamarnya.
Namun Mami Cangik ndak terlalu larut dengan peristiwa itu. Dia memutuskan keluar ruangan untuk melanjutkan menyapu halaman.
Baru saja mau membuka pintu, ternyata di depannya sudah berdiri bendara putrinya
”Lho niki rak Ndara Putri Manohara ta?, wilujeng Ndara?, kalawau nitih napa?, aduh...aduh priyayi kok ayune ora njamak, terus pripun Gusti Pangeran?, kok mboten nderek ?”
” iya Biyung emban, aku mau nitih Buraq, gustimu ora melu, aku wis prasetya menawa aku ora bakal bali maneh”
”Lho pripun ta panjenengan menika?”
”Lha ya embuh ...”

Wajah Portofolio

Kita tinggalken dulu kisahnya Wisanggeni and Ki Lurah Semar. Sekarang kita lihat di taman keputren, tempatnya garwa prameswari, gadis kedaton- putri ngarsa dalem-, dan biyung emban yang tengah bercengkrama melihat tayangan sinetron ‘ Muslimah’.
Sesaat ketika mereka tengah asyik, tiba-tiba filmnya terputus oleh tayangan iklan. Kontan mereka histeris jengkel. Diambilnya ubi jalar yang telah tersedia di atas meja tamu, untuk mengalihkan perhatian. Mereka mencoba ‘ngemil’ sambil mendiskusikan nasib gadis muslimah yang terpenggal oleh iklan tadi. Namun belum sampai ada tanggapan, tiba-tiba Limbuk Monica, datang dengan membawa tentengan stop map yang berisi ratusan lembar kertas yang tersusun acak-acakan.
“Hoalah Ngger anakku bocah kenes, Endang Monica?, tekamu kok ora kaya padatan, mlebu ngomah ora uluk salam, wajahmu kusut kaya kertas portofolio sing mentas dilegalisir nganggur. Rambutmu awut-awutan kaya dokumen sing mbok gawa kuwi ta nduk, banjur sakjane kowe kuwi lagi ngapa, kok teka-teka methuthut, njabrut, persis kertas poto kopian sing mbok uwel-uwel ning njogan kae” sergah Cangik mencecar pertanyaan yang membuat semakin sumpek pikiran Limbuk.
“Hoalah Mak... Mak. Sampeyan kan ya ngerti sendiri ta kalau anakmu sekarang lagi entuk panggilan sertifikasi, dadi ya pantes yen keadanku ya kaya mangkene iki. Idhep-idhep iku mau kabeh nggo ndandani nasib. Mosok guru saklawase mung kaya kere, omah ora gableg, utang mung mbanyu mili ara ana tuntase, terus suk kapan guru swasta kaya aku iki isa urip kepenak, padahal sing jenenge guru partikelir iku sanggane luwih abot tinimbang guru negri. Nyambut gawene padha, nanging nasibe beda. Nanging kebukten menawa guru swasta daya tahane luwih becik tinimbang guru negri. Iku mau kabeh saka iklasing niat kang tumus ing lahir batin. Senadyan gajine sithik, paribasane nggo tuku sega pecel wae ora cukup, nanging uripe luwih barokah.Awit niate tulus mung mligi minterne para siswa tanpa pamrih. Suwalike akeh lho mak guru negri sing ora kaya mangkono mau. Senadyan loro-lorone guru negri, ning uripe sarwa kisruh, utange sundul ngawiyat, anak putrane ora ana kang mentas, ekonomine morat-marit, malah-malah akeh guru sugih kang laku selingkuh...”
“Nanging suk menawa awakmu wis sugih, kowe aja terus lali karo tugas-tugasmu kang mulia kuwi lho ?”
“Ah ora kok Mak. Lah yen iku wis dadi prasetyaku sak lawase urip menawa kau kepingin dadi guru kang propesional, bersahaja, bertanggungjawab, jujur, dan berkepribadian tinggi kaya kang wus digambarake ing sepuluh komponen portopolio, Simbok biyen kan ya guru ta?”
“Iya nduk, simbok biyen ya guru, nanging nanging karo pemerintah mung digugu karo turu. Tegese guru biyen iku profesi sing dimarginalkan. Arang sinoman kang ketarik karo sing jenenge guru mau. Mereka gengsi yen mung trima dadi guru. Malah-malah wong-wong priyayi biyen isin yen duwe mantu guru. Sak iki zamane wis bergeser. Guru menjadi pesona bagi para kaum muda. Mung emane niate ora kanggo minterne para siswa lho ngger, akeh-akehe mung nggo golek pangupa jiwa, numpuk banda, kanthi sangu kaprigelan kang cupet. Entek-entekane dunia pendidikan menjadi semakin terpuruk. Bener sertifikasi jalan terus, nanging mutu pendidikan iku mau ora ana owah-owahan babar pisan, awit sing diarep-arep mung gajine wae, sementara mutu kinerjanya nggak ana perbaikan, mentale wis kadhung terkontaminasi budaya korupsi dan manipulasi”
“Wah simbok kok wawasane jero ta?”
“Simbok iku isih ngugemi piwulang guru sepuh jaman biyen kok ngger. Simbok yakin kok karo keyakinan sapa sing jujur bakale makmur, sapa sing tekun bakal ketekan, jer basuki mawa beya, mula ya ngenuta ngelmu pari, saya mentes isine yen isa ya ndingkluk amari kelu, aja ndangak adigang-adigung adiguna, sapa sira sapa ingsun. Ngelmu iku kelakone kanthi laku. Patrapane menawa kowe kuwi ora duwe sertifikat kaya kang disyaratake ing sepuluh komponen mau, ya aja ngakal-akali, ngrekadaya beteke mung murih nilai, elinga ya ngger, banda donya iku menawa olehe saka dalan kang ora bener, mesti tinemu wewaler...”
“tenan kok Biyung aku ora tahu ngakal-ngakali sertifikat kok, luwih-luwih tuku PTK, tuku skripsi...”
“Lha apa ana lho Ngger wong dodol PTK lan skripsi mau?”
“Wah ya ana, malah sing dodol mau ya para guru-guru dewe”
“Wah ya ngene iki sing jenenge palang mangan tandur, ngrusaki dunia pendidikan, sing tuku karo sing adol padha padha nyemplung neraka, mula kowe aja tiru-tiru sing kaya ngono mau ya ngger, banda donyamu ora barokah, awit sing mbok pangan ora khalal. Bukti fisikmu sak anane wae. Yen pancen ora duwe sertifikat, PTK, lan karya tulis lainnya, nggak usah kamu mengada-ada, utawa malsu data, simbok ora sarujuk”
“Ya muga-muga para guru sing adol karya ilmiah mau padha bisa sadar, insyaf, mengakui kesalahan dan tobat nasuha. Wondene yen ora gelem insyaf muga-muga pihak berwajib bisa nyekel lan ngadili kanthi seadil-adilnya, simbok berpendapat menawa perbuatan iku mau kabeh minangka kejahatan akademis dalam bentuk penipuan”
“Hoalah ngger ... ngger aku ngucap syukur marang Gusti Kang Akarya jagad dene awakmu isik ngugemi angger-anggering agama lan pemerintah, syukur ngger, simbok melu seneng..”
“yen ngono dongakna aku ya Biyung, muga-muga Gusti paring umur panjang supaya aku bisa dadi guru kang propesional, berbudi pekerti kang luhur, cerdas, rendah hati, bertanggung jawab dan berwawasan luas...”
“Amin...”

KPK (Kalah Persaingan Kutembak)

Belum hilang dari ingatan kita pernik-pernik pemilu legitpahit eh nggledislaris atau apa saja istilahnya, yang penting semua rasa itu telah berbaur menjadi satu. Baik yang senang, sampai yang edan hingga yang bunuh kediri. Semuanya telah menggambarkan betapa tolol dan dungu bangsa ini. Meluapnya jumlah partai politik, tidak menggambarkan sebagai manisnya demokrasi, akan tetapi menggambarkan betapa bangsa ini sudah tidak bisa bermesraan dengan dialog dan musyawarah. Semua mengedapankan egonya, kekuatannya, kekuasaannya. Rumongso biso, tidak biso rumongso. Politik telah bergeser menjadi lahan perebutan kekuasan materi, dia tidak lagi aspiratif memperjuangkan rakyat, tetapi reinkarnasi menjadi inspirasi untuk memper-uangkan rakyat. Jelas , ujung-ujungnya adalah uang. Karena mereka dari kalangan beruang.
Kita tinggalkan dulu biografi para politisi busuk di atas. Kita kembali kepada kisahnya Raden Wisanggeni dan Ki Lurah Semar yang tengah menanti UNAS berakhir.
”Oh kranjingan bocah iki, weee... ditinggal ngudarasa malah minggat, oh nyang endi ta bocah iki mau, weeladalah mbok menawa ning nggon kramean kae, ndak tututi thole, lha wong dijak nyambut gawe ben ndang rampung lakone, la kok iki malah playon, heh Wisanggeni aja singidan..”

Ki Lurah Semar terpaksa harus kembali berjuang, dan bersabar, ia harus mencari Wisanggeni.
Di sepanjang perjalanan, ki lurah melihat pemandangan kota adipura yang kumuh. Aparat pemda yang bertugas mengawal pemerintahan masih kelihatan cangkrukan dan keluyuran di saat-saat jam dinas. Sedangkan para guru yang ikut program sertifikasi nampak nglembur SK dan sertifikat fiktif, untuk menghindari diklat yang katanya menakutkan, karena konangan kelemahannya. Sudah ribuan lembar kopian yang sia-sia lantaran ulem manten, undangan kenduri, bon kredit sepeda motor, surat hutang, tagihan PLN, surat nikah, BPKB, dan sebagainya, terlanjur dikopi rangkap tiga , dikira juga bisa mendatangkan nilai tambah, ee ternyata malah nambahi beban kepala yang sarat dengan problema sertifikasi. Mbledos dos-dos.
”Oh semprul ning kene uga ora ana..”

Ki Lurah kembali berlari mencari Wisanggeni. Kali ini ia mampir di sebuah kampus yang tengah menghelat hari jadinya. Pastilah dia ke sana. Sebab Wisanggeni amat suka dengan festival musik atau reog, paling tidak. Itulah pertimbangan Ki Lurah Semar.
Tidak beberapa lama Semar sudah masuk di auditorium. Tidak lupa dia menitipkan cap jempol di atas piranti elektronik, semacam alat detektor untuk mendekteksi para karyawan, ketahuan masuk atau tidak. Semar hanya mesem kecut. Sebab peralatan semacam itu telah ketinggalan jaman. Nggak efektif, karena Gareng, Petruk dan Bagong justru hadir cap jempolnya saja. Begitu habis ngecap, ketiganya ngacir, hanya cangkrukan di warung sebelah kampus. Semar hanya mantuk-mantuk. Sementara para cleening service, alias buruh resik-resik telah menggantikan peran buruh dalam negri, yah memang kesannya kelihatan elit dan modern, tapi anggaran rumah tangga menjadi membengkak. Pak kebon lama ndomblong, merasa jerih payahnya telah dilupakan begitu saja. Mereka hanya memburu wahnya saja, tetapi tidak memberdayakan mereka yang ada.
“Mereka adalah pekerja yang tidak membutuhkan gaji lagi, dia adalah karyawan lillahi ta’ala, Gusti Alloh yang nggaji” kata salah seorang pejabat menjawab pertanyaan Ki Lurah Semar.
“Ooooh dengkulmu ambles kuwi, rumangsamu gaji itu ngambilnya di sana, langsung nyeblok dari langit, oooh dasar turunan penjajah Jepang. Mentala, persis jaman romusa, titenana, kezalimanmu bakal diwales sing kuwasa”, umpat Semar jengkel.

Semar kali ini sudah merasa kecapekan. Dia memutuskan melihat acara milad yang lumayan semrawut. Acara demi acara kelihatan tidak ada koordinasi. Mirip suasana dalam pengungsian. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan di kampus ini sudah amburadul. Mereka layak menyandang pemimpin festival. Yakni kepemimpinan yang mendahulukan gaya, seperti layaknya selebritas yang glamour, suka memamerkan kemolekan dan asesoris tubuhnya. Mereka hanya mengundang decak kagum para penonton, tetapi secara menejirial amatlah lemah, lantaran brah-breh, boros, dan rakus.
“Haloo Mbah Semar...” tiba-tiba Wisanggeni menghampiri sambil membawa piagam penghargaan dan piala.
“Ora ngono ngger, kowe kok isa oleh pila karo piagam iki mau kepriye?”
“Aku tadi ikut festival nyanyi Mbah, sainganku akeh, tapi walau aku datang terakhir nanging aku bisa menang Mbah”
“Lho kok isa?”
“Panitiane aku tembak !!!, tak sogok duwit Mbah, terus pialane iki mau ora diserahne ning duwur panggung, tapi hanya diserahkan seperti layaknya beli tempe, alias ndak pake seremonial”
“Ya wis ora apa-apa, kebeneran Simbah mau sertikasi, pigammu mengko ndak ganti jenenge Simbah, lumayan kena nggo nambah nilai”
“Oh dasar Semar mendem “

Menyoal Pengemis yang Kian Marak

””Orang yang terus menerus meminta-minta kepada orang lain ( mengemis untuk mencari nafkah) kelak di hari kiamat akan datang menemui Allah dengan muka tanpa daging ” (H.R. Bukhari –Muslim)

Pagi itu tepat jam 04.58 suasana di perempatan Tonatan masih nampak lengang. Dari arah selatan tiba-tiba ada colt prona warna hitam tengah menurunkan sepuluh orang penumpang tepat di depan Hotel SAA, mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, anak-anak, dan orang dewasa. Mereka nampak berbadan segar dan ceria. Tak sedikitpun tampang ’memelas’ yang hinggap di wajah mereka. Mereka bercanda ria sambil sesekali melepaskan ejekan kepada sesama teman mereka.
”Yem, kowe mengko wilayahmu ning dalan Gajah Mada, Jendral Sudirman, Diponegoro, Terus ngetan Tambak Bayan, Terus aku karo kang Giman, Parti lan senduk Narti mlaku ngalor, Luwes, Sarlegi, terus iki bayine mengko gentenan, mengko kumpule ning ngarep mejid Duwur” kata salah satu perempuan yang nampak kelihatan paroh baya, sambil berganti busana, layaknya orang miskin papa.
Demikian juga yang lainnya segera berganti gaya dan busana, bahkan ada yang sengaja mengikat kakinya kemudian berlagak pincang, kemudian membaluri wajahnya dengan arang dan menutup wajahnya dengan topi kumal.
Itulah fenomena Jum’at pagi hari di sudut kota Ponorogo tepatnya di halte-halte dari arah utara, selatan, barat, dan timur kota. Mereka sengaja memanfaatkan hari Jum’at, karena hari itu hari kebanyakan muslim murah berseddekah. Dan dipastikan hasilnya lebih surplus dibanding dengan hari biasanya.
Fenomena pengemis atau meminta-minta sudah demikian merata di setiap kota dan menjadi alternatif mencari nafkah yang menjanjikan. Mereka tidak saja beroprasi di jalan-jalan, perumahan, pasar-pasar, emper toko, akan tetapi kini telah merambah di angkutan transportasi, sekolah-sekolah, dan tempat peribadatan. Mereka terdiri dari orang yang masih punya harga diri, dan punya kekuatan untuk bekerja dengan pekerjaan yang lebih mulia, namun jalan pintas nampaknya lebih menarik dan menjanjikan. Modalnya hanyalah ’aja wedi isin’ kalau perlu sewa orang-orang cacat, anak-anak bayi untuk memancing empati orang lain, lumayanlah pekerjaan ini ringan, menyehatkan dan menguntungkan. Mereka sengaja mendidik, dan mempekerjakan anak-anak hanya untuk tujuan komersial yang pada giliranya menciptakan pengemis-pengemis profesional. Yang akhirnya bisa menumbuh-suburkan sifat pemalas; malas berusaha, malas berfikir, dan malas bekerja.

Pandangan dalam Islam
Perbuatan meminta-minta atau mengemis, terdapat sebuah hadits Nabi SAW yang artinya ”Dari Miqdam bin Ma’di Yakrib r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda: ”Sekali-kali tidaklah pernah seseorang memakan makanan yang lebih baik dibandingkan dengan memakan (makanan) dari hasil kerja tangannya, dan sesungguhnya Nabi Allah Dawud AS senantiasa makan dari hasil kerja tangannya” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Nasai, dll.)
2. ”Tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (meminta) (H.R. Bukhari)
Seperti telah kita maklumi bersama, bahwa akal budi manusia untuk mencukupi hidupnya itu banyak caranya. Ada yang memperolehnya karena mendapatkan warisan, diberi, sedekah, gaji, bertani, dan sebagainya. Dari sekian cara tadi Nabi SAW telah menjelaskan bahwa harta benda yang paling baik untuk mencukupi kebutuhan hidup yaitu harta benda yang diperoleh dari keringatnya sendiri, bukan dari warisan ataupun dari meminta-minta (mengemis).
Memang sebuah kenyataan, bahwa harta benda yang diperoleh karena hasil dari kerja keras lebih berharga daripada diperoleh dari warisan ataupun meminta-minta. Hal ini akan menimbulkan kepuasan tersendiri, dan mereka cenderung lebih berhati-hati dalam membelanjakan dan mengelolanya, mengingat cucuran keringat telah dikucurkan begitu derasnya. Namun kenyataan seperti itu telah ternoda dengan ulah orang-orang yang sengaja hanya mencari enaknya saja. Padahal badanya masih sehat, kuat, muda, anak-anak, mereka masih potensial untuk melakukan pekerjaan yang labih baik, apakah mereka itu benar-benar orang miskin papa?, lantas bagaimana dengan aparat desa?, tetangga-tetangganya?, apakah mereka tidak pernah melihat warganya yang demikian?
Ada sebuah kisah nyata; Mawar (nama samaran) adalah gadis berparas cantik yang tengah merantau di sebuah kota. Ia bekerja di sebuah pabrik di Surabaya. Suatu hari ia berkenalan dengan seorang pria tampan kaya, dan mapan. Akhir cerita si pria tertambat hatinya untuk segera melamarnya. Maka suatu hari dia berkeinginan me, nemui orang tuanya si gadis, yang konon ia tinggal di sebuah kampung yang berada di pelosok desa, ia konon anak orang miskin-papa. Si Pria memang berniat ingin mengangkat nasib si gadis dan orang tuanya agar kelak lebih menikmati kebahagiaan hidupnya.
Akhirnya dia sampailah di kampung tempat si gadis tinggal. Akan tetapi tak disangka ternyata kehidupan orang tuanya sudah dibilang cukup. Di belakang rumah ada empat ekor sapi, rumahnya sudah dibangun tembok permanen, berlantai keramik –walau ala desa- dan itu sudah mencerminkan sebuah kemapanan hidupnya. Si Tampan agak bimbang dengan cerita Mawar yang sering didengarnya. Dengan diam-diam maka ditemuilah tetangga-tetangga yang ada di sekitarnya. ”Bapaknya Mawar itu berprofesi sebagai pengemis Mas”. Itulah keterangan dari semua tetangga-tetangga yang diperolehnya. Bagai disambar petir di siang bolong, akhirnya si pemuda tadi dengan bergegas, merah padam wajahnya, berpamitan dan mengurungkan niat melamar gadis anaknya.
Barangkali itulah yang membedakan harta yang diperoleh dengan cara mengemis dan harta yang diperoleh karena kerja keras, harta yang diperoleh dengan cara mengemis tidak akan mendatangkan barokah sedikitpun. Akan tetapi harta yang diperoleh dari kerja keras akan mendatangkan kenikmatan hidup, dan barokah yntuk keluarga dan semuanya.
Perbuatan mengemis itu hanya boleh dilakukan ketika terpaksa saja, dan kewajiban orang lain adalah membantu mereka untuk hidup mandiri, bukannya menelantarkan atau mengumpatnya.

Peran Pemda
Tidak kalah pentingnya adalah kebijakan pemerintah untuk menanggulangi membanjirnya para urban yang datang untuk beroperasi mencari nafkah lewat profesi mengemis ini. Tidak ada salahnya –dalam rangka- untuk mendidik sebagian warga yang berprofesi sebagai pengemis ini, tidak ’nulari’ kepada warga yang lain, sehingga ada upaya untuk segera di-Perda-kan seperti halnya di Jakarta. Dan untuk itu semua kepada warga, aparat desa, dan pemerintah daerah tidak ada salahnya jika ada upaya-upaya nyata dalam rangka membasmi pengemis profesi, dalam bentuk kerja sama yang sinergis, melaporkan dan memberikan sanksi yang mendidik. Dan dikemudian hari pengemis-pengemis profesi ini sadar dan jera untuk tidak mengulanginya lagi.

Pemilu Carut-marut

Baru saja pemilu usai digelar. Masih banyak persoalan klasik yang selalu bergelayut menyertainya. Mulai dari caleg stres, caleg ratrima, caleg edan, caleg mendem, caleg krodit, dan caleg kabotan hutang, dan sebagainya. Pokoknya yang menang girang, yang kalah menerima musibah. Itulah democrazy, demonya orang-orang yang gila jabatan, kekuasan, dan kedudukan. Dasar orang gila, jadi pikirannya pada eror, monkey politik; berwatak serakah seperti kera, money politik ; berwatak rentenir, yang selalu menghargai perbuatannya dengan uang yang berlipat-lipat, pokoknya kalau ada uangnya ya mau berbicara, kalau tidak ada ya matur nyuwun. Itulah wajah negeri Ngamarta yang kini berubah seratus delapan puluh derajat, tidak ada bedanya dengan negeri Kurawa, yang carut-marut.
Pagi itu kelihatan sang prabu tengah mengisi ceramah pada acara pelatihan PTK yang diikuti oleh puluhan guru-guru sekolah dasar. Sebuah pemandangan yang paradoks, karena para pemateri itu tidak tahu situasi anak-anak sekolah dasar yang sebenarnya. Sehingga hasilnyapun seperti buih di lautan, mengambang, kampul-kampul, kemudian lenyap ketika terhempas ombak yang senyatanya. Sementara sang prabu hanya senyum-senyum, karena setiap kali ada uang sakunya, dia menjadi semangat. Karena ‘keuangan yang maha esa’ merupakan semboyan hidupnya. Sehingga kalau berhubungan dengan uang saku, dia amat teliti dan rapat-rapat menggenggamnya. Tak peduli walau bukan haknya.
Kita tinggalkan dulu Sang Prabu rakus yang tengah menguasai di jagad Kurawa tersebut, kini kita ikuti kembali perjalanan spiritual Ki Lurah Badranaya atau Semar; yang merupakan saudara kembar Bathara Manikmaya, dan Tejamaya alias Togog. Ayahnya bernama Sang Hyang Tunggal, dan ibunya bernama Dewi Rekathawati – seorang peragawati – yang gagal nyaleg pada pemilu pertama negeri itu. Kini perjalanan Ki Lurah Semar sudah mendekati pendapa negeri Nagamarta. Di sepanjang jalan, Semar melihat para caleg yang gagal menuntut pemilu ulang. Mereka menilai bahwa pelaksanaan pemilu kali ini berlangsung amat semrawut, mulai dari pengadaan logistik, hingga daftar pemilih tetap yang tidak akurat.
”Ngger Wisanggeni?”
”Apa Mbah ”
”Dhek jamanku biyen, pemilu iku mesti melibatken Pantarlih. Data pemilih didata oleh ketua RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, terus nyang Kabupaten, lha sekarang ora kaya ngono kuwi, pejabat Pemilu nggawe aturan sak karepe dewe, wong wis mati barang didaptar rumangsane ijik nduwe hak pilih, lha ujung-ujunge ya kaya ngene iki ..., malah sing urip akeh sing durung kedaftar ....”
”Maksudnya ?”
”Karebku, sistem pendataan iku balia kaya biyen, aja dideleng ka data komputer, rumangsane komputer iku apa isa kluyuran ning RT ... RT, lan apa ya ngerti yen tanggane mati ?”
”Maksudnya ?”
”Kowe kok sedari tadi kok hanya bilang ’maksudnya’ ta ngger, usula, uruna rembug, supaya masalah ini segera bisa cair...”
”Mbah aku ini tidak paham dengan apa yang sampeyan omongkan itu. Dan menurutku, aku lan sampeyan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan pemilu dan para caleg tersebut”
”Maksudnya?”
”Biarlah caleg-caleg yang kecewa, dan pemilu yang carut-marut ini menjadi bahan siaran koran-koran, radio dan televisi aja. Toh semua ini juga ada manfaatnya”
”Maksudnya?”
”Sekarang yang penting bagiku adalah mencari siapa sejatinya orang tuaku”
”Maksudnya?”
”Hayo sekarang kita temui orang yang tinggi besar itu, siapa tahu dia tahu”
”Maksudnya?”
”Kalau dia tidak mau berkata jujur, ooooh bakal aku hajar Mbah ”
”Oh hiya ngger Wisanggeni, aku setuju banget, wis hayo ditemoni ngger”

Pil Pahit untuk Caleg

Myat langening kalangywan haglar pandam muncar , tinon lir kekonang surem saratin tan padang kasor lan pajaring purnameng gegana, oooong..., dhasaring mangsa katiga , hima hanawengi ring ujung ancala seneng hakarya wigena miwah isining wana , wreksagung tinunu, oooong....

Baru saja Wisanggeni dan Kyai Lurah Semar menginjakkan kaki di wilayah Ngamarta. Dia tidak njujug di pendapa agung, tetapi masih mampir di masjid salah satu universitas swasta Ngamarta, untuk menunaikan sembahyang Lohor. Lumayanlah bisa untuk melepaskan lelah, sambil mengenal perikehidupan universitas tersebut yang konon menggunakan semboyan ’kampus Islami’ yang konsisten meniru perilaku Nabi. Dari sana Semar ingin mengembangkannya di kelurahan Karangkedempel besuknya. Akan tetapi alangkah kecewanya, ternyata semboyan itu hanya ’semboyan setengah hati’, terbukti, masjid yang sebegitu besarnya, hanya segelintir mahasiswa dan dosen yang menghadirinya. Sedangkan yang lainnya lebih nikmat cangkrukan di serambi kampus, dan banyak pula yang ngerumpi di teras masjid. Dan yang lebih Ironis adalah keberadaan ’tandak musik dan gamelan reog’ yang tidak tahu ’wayah’. Mereka seakan tidak peduli dengan kondisi sakral yang harus dihormati sebagai saat-saat untuk manembah-manekung, membersihkan diri dari penyakit hati , mereka malah congkak menggeber musik dan gamelannya hingga mengganggu identitas kampus dan kenyamanan beribadah.
”Ngger Wisanggeni ?”
”Ada apa mbah ?”
”Ayo kita tinggalkan tempat ini”
”Memang kenapa mbah?”
”Aku kecelik ngger, ndak kira kene iki kampus Islami beneran, eee jebul mung lamis, apus-apus, coba ta delengen kae gamelan reog, musik kampus, terus berkumandang, terus kae ana dosen dan mahasiswa katon ora peduli karo panggilan sembahyang, waah sakjanya ya dosen agama lho ngger, wis ayo enggal nggoleki Bathara Guru ndik pendapa Ngamarta kana wae ngger...”
”Oh iya mbah hayo”

Kedua makhluk wayang itu segera meninggalkan ’kampus Islami’ menuju Pendapa Agung Ngamarta, untuk melacak keberadaan Bathara Guru yang terdeteksi melarikan diri ke sana.
Disepanjang jalan, Semar dan Wisanggeni nampak tersenyum kecut melihat kondisi para caleg yang kecele dengan hasil perolehan suara. Ada yang suaranya keras, lembut, mendayu-dayu, dan bahkan suara itu tidak terdengar sama sekali. Mereka menjadi mantan caleg yang ’nggondok’ dengan realitas masyarakat yang sebelumnya diprediksi menjadi pengagumnya, tetapi mereka ternyata mengkhianati isi kantong yang terlanjur ia kuras untuknya.’Team sukses dan masyarakat telah sukses menipu’ simpulnya. Itulah sebuah realitas yang kadang tidak menimbulkan jera bagi yang lain. Pemilu depan mesti banyak caleg-caleg karbitan yang menjadi korban. Dan merekapun akan terjebak dalam kubangan tipu-menipu, suap-menyuap, dan sebagainya, yang justru akan menambah deretan panjang budaya culas di negeri ini. Dan senyatanya, politik di negeri ini sudah bergeser ke dalam ranah politik pragmatis. Politikus lebih mengedepankan nafsu syahwatnya untuk menguasai jalur ekonomi dan kekuasaan, ketimbang memikirkan nasib rakyat yang kian miskin papa. Mereka lupa bahwa menjadi wakil rakyat itu tidaklah mudah. Ada prasarat yang harus dipenuhi, yaitu; kompetensi personal, kompetensi profesional, serta konsistensi sebagai penyambung lidah rakyat. Lha kalau salah satu saja tidak ada yang nyantol dalam dirinya, terus untuk apa menghambur-hamburkan uang berebut kursi di dewan. Mbok ya kalau diniati untuk sedekah nggak usahlah dibareng-berenghkan dengan masa pemilu. Saya kira itu lebih terhormat, dan masa anda secara otomatis akan semakin banyak. Ingatlah, bahwa kekuasaan itu jangan diburu, akan tetapi semua itu akan datang menghampiri orang yang amanah, kuat memikul tugas dan tanggung jawab. Hanya orang banyaklah yang dapat menilai, bukan perasaan Anda. Kalau diri anda memancarkan sinar, maka semua orang akan berebut terang di sekitar anda. Percayalah !!.
”Wah, mbah sampeyan kok ngelamun terus ?”
”Oh hiya Wisanggeni, aku iki mau lagi ngudarasa para caleg sing ketemben keok, kelangan sandang kelawan pangane, ... lha ya ngono kuwi akibate yen mung nggugu karepe dewe. Deweke ora nyana menawa masyarakat iku mung lamis, gelem nampa duwit saka sapa wae, nanging coblosan tetep ora bakal gingsir saka njeroning atine”
”Ngono ya ora kapok lho mbah”
“Aih, sing jenenge manungsa iku kapoke yen wis mati, lha yen ijik urip kahanan sing kaya mangkono iku durung bakal ilang”
“Betul mbah. Kalau begitu ayo segera kita mencari Bathara Guru”
“Eh hayo ngger, ndak ter-ne”

Contrengane Akeh Lumayan Ealah Gabug

Leng-lenging driya mangu-mangu mangunkun kandhuhan rimang lir lena tanpa kanin yen tan tulusa mengku sang dyah utama, ooong...

“Mbah Semar ini sudah nyampai di mana mbah, ini kok banyak bendera diangkuti truk...”
“Ngertia Wisanggeni, iki ngono negara Ngamarta, yen ora salah iki lagi wae mlebu minggu tenang, para jurkam lagi tapa bisu, para caleg lagi dheg-dhegan mikir utang lan mikir biaya kanggo nginep ing RSJ mbesuke, suwalike, kanggo para team sukses padha lagi seneng-seneng panen dhuwit caleg, lan sak iki delengen kae, para caleg padha lagi mbesengut merga kapusan karo angen-angene, rumangsane masyarakat gelem ndukung kabeh, hiya dhuwite pira-pira gelem ananging thole, .. amplop lan sembako ora kena nggo ukuran, ananging bukti surat suara kang wis dicontreng sing kena kanggo ukuran. Terkadang aku dewe sok nggumun kok ngger, lha wong amanah kok digolekki, dituku, diuber-uber, direwangi kanthi cara-cara kang ora pantes munggwing agama, lan norma-norma adiluhung.. terus mbesuk yen dadi pejabat ngono kaya apa ya ngger?”
“Mbah Semar, aku kok ora mudeng ta karo sing dikandakkan oleh sampeyan..”
”Eh, hiya Wisanggeni, ngertiya ya menawa Ngamarta sak iki iki lagi mengadakan pilihan para calon wakil rayat eh rakyat sing bakal lungguh ana Dewan Pethakilan Rakyat, ora perwakilan ananging luwih pas pethakilan, awit polah-bawane tambah nggegirisi, ora mewakili rakyat kepara mung seneng-seneng, ngrusak sistem tatanegara, ngrusak angger-anggering negara, lan ngrusak tatananing agama, terbukti, money politik ora tambah surut, ananging tambah ndadra, sapa sing nggawe rusak, lha ya para anggota legislatif dewe sing pingin lungguh terus ana sak-ndhuwure kursi dewan. Awit dewan ngono panggonan basah, penuh uang, penuh kehidupan glamor, penuh dengan sarana pemuas hawa napsu. Jare ana sing nganggep tempat suci, suci apane, lha wong budhale wae wis nganggo cara-cara sing ora khalal, niate wis jelas mung nggo golek ’pesugihan’, niate ora Lillahi tangala, nanging wis adoh saka tatanan agama. Mangertiya ya ngger Wisanggeni, Ada dua bahaya yang bisa menjadikan manusia rusak , yaitu hawa nafsu dan pamrih. Oleh karena itu manusia harus bisa menutupi babahan hawa sanga dan melepaskan pamrihnya.
Babahan sanga, yaitu lobang sembilan yang ada di badan manusia yang harus dijaga kesuciannya. Kalau lobang ini tidak bisa dijaga,maka manusia akan kehilangan akal budinya, manusia akan menjelma jadi binatang, yang tidak punya akal, dan tidak punya etika. Sedangkan bahaya yang kedua adalah pamrih. Pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan diri sendiri, sama sekali tidak menghiraukan kepentingan masyarakat luas. Pamrih akan memperlemah manusia dari dalam dirinya. Ia hanya mencari kepentingan-kepentingan diri. Oleh karenanya oarang yang demikian akan memunculkan sifat; nepsu menange dhewe mengannggap dirinya yang paling hebat, harus selalu ada di depan dan terdepan, nepsu benere dhewe menganggap dirinya paling benar, dan nepsu butuhe dhewe sebuah kesrakahan yang hanya memikirkan dirinya sendiri”
Wisanggeni amat bingung dengan pangudarasa Kiai Semar. Di dalam hatinya timbul segudang tanda tanya dengan maksud yang telah diutarakan oleh Mbah Semar. Demi menghargai semua kata-katanya, Wisanggeni hanya manthuk-manthuk...
”Ngger Wisanggeni, politik itu bersifat profan yang selalu berselingkuh dengan beragam kepentingan, tendensius, berjuang hanya untuk kepentingan kelompok, bersifat sesaat ..”
”Terus...sampeyan ndak ikut berpolitik ?”
”Kyai tidak seharusnya masuk kubangan politik praktis, mereka harus tetap mengawal umat, agama dan keutamaan. Kyai adalah lembaga sakral, berdimensi gerakan moral yang penuh dengan nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi, serta menjadi payung seluruh golongan (rahmatan lil’alamin). Kalau Kyai berpolitik praktis dikhawatirkan akan terjebak pada logika politik, yaitu memanipulasi masyarakat basisnya, santri-santrinya, jamaahnya, dan umatnya demi kepentingan politik sesaat. Puncaknya, sikap ini akan menggiring ke arah logika kekuasaan yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian, akan tereduksi atau bahkan hilang sama sekali, terkalahkan oleh nafsu kekuasaan”
”Jiangkrik !!, sampeyan iku ngomong apa, aku kok jadi semakin bingung saja”
pungkas Wisanggeni jengkel dengan omongan Kyai Semar yang semakin ngelantur
”ha...ha...ha...ha..., maklumlah ngger, aku ini kan kandidat doktor universitas Karangkedempel, jadi omonganku ber-hight politic ”
”Hoalah Semar... Semar !!”

PEMILU

Meh rahina semubang Hyang Haruna kadi netraning anggarapuh , sabdaning kukilaring, kanigara kaketer, Oooong kini donganing-kung, lir wuwusing pinipanca , lan pepetoging ayam wana neng pagakan, mrak manguwuh bremara ngrabaseng kusumaring , wara baswararum oooong...

Ndak terasa, perdebatan yang memakan waktu berjam-jam itu telah merugikan kesempatan ketiga satria Pendawa itu, untuk menangkap Wisanggeni yang telah melumpuhkan birokrasi di Kahyangan beberapa hari ini. Hal itu terbukti bahwa nomer antrian yang ia dapatkan baru dilayani oleh Wisanggeni tepat ketika fajar menyingsing besok. Dan harapan itu kini tinggalah kenangan. Sebab di gerbang pintu itu, Wisanggeni telah menulis pesan di papan melamin, ’ Mulai hari ini praktek pengobatan ditutup total untuk selamanya, dan saya ndak tinggal ndik sini lagi, saya ke Marcapada !!!’
”Waaa Werkudara ...”
”Haaa, ana apa Jlitheng kakangku”
”Sajaknya awaknya dewe ora kasil Werkudara, coba lihatlah di depan gerbang itu Wisanggeni telah menulis pengumuman, bahwa dia tidak buka praktek pengobatan lagi, dia kini lari ke Mercapada..., dan aku punya insting kalau Wisanggeni bakal mengejar pikulun Bathara Guru di Ngamarta sana. Untuk itu Gathut, Dara, jangan terlalu lama bengong ndik sini, hayo Si Wisanggeni kita kejar..”
”Hiya, hayo ...”

Ketiganya segera berlari kencang, terbang menukik menuju Mercapada, alias daratan dunia. Hampir saja ketika tinggal landas sayapnya nyantol di bendera parpol yang sudah dalam keadaan ’kliwir-kliwir’ permukaannya sudah tidak berbentuk lagi, alias sobek semua terkena teriknya mentari dan hempasan angin pentil beliung yang tidak suka wilayahnya di pancangi bendera-bendera parpol yang tidak bermakna itu. Sementara Werkudara kakinya sempat nyanthol di baloho reklame dan sempat merobohkannya, namun karena ndak ada petugas yang ngonangi, Werkudara bablas terus tidak sempat melihat lagi keadaan dibawahnya. Sedangkan Prabu Kresna memilih terbang sambil menikmati kamera digitalnya, merekam keadaan di Kahyangan Suralaya, yang nampak semrawut. Beliau tidak menyangka bahwa kota yang baru saja menyabet penghargaan adipura itu tidak nampak adi-nya tapi hanya kepura-puraan belaka yang nampak. Bahkan 10 penghargaan yang telah diterimanya hanya ’pepesan kosong’ tidak menunjukkan geliat yang signifikan terhadap mentalitas dan geliat aparat serta masyarakat. Maklumlah penghargaan bukanlah lagi menjadi sesuatu yang murni sebagai prestasi, akan tetapi hanya sebuah prestise semu, yang bisa diperjualbelikan untuk komodite politik yang bersifat permisif, dan bahkan primitif. Semua orang maklum, bahwa negeri ini kini dikuasai oleh tangan-tangan kotor yang notabene para ’politikus’ ; asal kata poli=banyak, dan tikus (rombongan tikus) dan berasal dari ’partai’, asal kata dari ’par dan tai’ (telek). Jadi maklum kalau pola pikir mereka hanyalah berebut kekuasaan untuk menguasai lumbung-lumbung pakan manusia yang lain. Kemudian menginjak-injak dan merebut kembali lumbung-lumbung yang lain, dengan melakukan teror , fitnah, dan intimidasi. Mereka bangga dengan atribut-atribut, mereka bangga dengan kekayaannya, mereka mengagungkan diri, membaik-baikkan diri sendiri, memproklamirkan sebagai pejuang sejati, yang memperjuangkan diri dan keluarganya sendiri, dan entah apalagi.

Sejam kemudian, Prabu Kresna, Werkudara, dan Gathutkaca telah mendekati atmosfir bumi. Dari atas napak banyak kerumunan manusia yang berbondong-bondong menuju sebuah tempat yang nampak penuh lumpur dan bangunan perkampungan yang porak –poranda. ”Waah ini pasti bencana lagi..”, desah mereka bertiga.
Benar !, ternyata bendungan yang dibangun oleh Prabu Ramawijay ketika jaman Ramayana dahulu ambrol. Prabu Kresna sempat merekam awal terjadinya peristiwa itu. Banyak penduduk yang masih terlelap tidur. Sementara hujan dan guntur telah menjadi tanda-tanda ihwal terjadinya musibah itu. Namun penduduk kebanyakan tidak tanggap ing sasmita terhadap himbauan alam itu. Tak pelak ratusan nyawa melayang bersamaan harta benda yang telah melupakan kekuasaan Tuhan.
Kesempatan itu sebenarnya bisa dijadikan sebagai ajang tebar pesona, bagi para caleg pemula dan caleg profesional, tapi sayang, koceknya sudah mulai menipis. Bahkan lumbung-lumbung kekayaannya kini tengah pada ambang krisis, maka maklum Prabu Kresna ndak pernah melihat batang hidung para caleg itu nongol di lokasi bencana. Yang ada tinggal tiang-tiang bendera yang penuh dengan lumpur, dan stiker-stiker caleg yang barsatu dengan lumpur, diinjak-injak para korban yang galau karena keluarganya hilang belum diketemukan.

Lounching Pejabat Foto Model

Tan samar pamoring suksma , sinukmaya winahywa ing asepi sinimpen telenging kalbu pambukaning warana , tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati, ooong

Ketiga punggawa itu jadi berhenti menjadikan pembicaraan yang baru saja dibicarakan menjadi sebuah tema yang amat serius. Prabu Kresna nampak masygul dengan kondisi yang terjadi di Kahyangan Suralaya, kenapa Bathara Guru yang merupakan gurunya semua guru – baik yang sudah tersertifikasi ataupun para guru KTP- alias guru-guru kebanyakan , malah tinggal gelanggang colong playu, ndak bisa mengatasi kondisi kahyangan yang semakin carut marut. Dan dampaknya dirasakan sangat menyengat hidung. Mental korupsi merambah di semua sektor kehidupan. Muridnya badung, bandel, politisinya bermental korup, dokternya , polisinya, hakimnya, jaksanya bermental pemalak, sedangkan para pelaku ekonomi melakukan tindakan kejahatan berjamaah dengan ‘mengicrit-icrit’ stok pupuk, stok sembako, stok BBM, agar dipasaran menjadi langka, dan perekonomian masyarakat menjadi kacau. Demikian juga para penghulu, yang mestinya menjadi panglimanya perang melawan hawa nafsu, ini malah menjadikan urusan perkawinan masyarakat, atau warganya sebagai lahan meningkatkan penghasilan ‘sambilan’. Bahkan ada seorang penghulu yang kerjaannya sehari-hari hanya di meja bilyard “Oh pengulu sodrun” batin Werkudara dengan geram.
“Werkudara ..., Gathutkaca”
“Apa Jlitheng kakangku”
“Kasinggihan Wa”
“Sekarang awaknye dewe ini sudah berada di kahyangan Suralaya. Sesuai dengan misi kite yaknie; akan mengadakan tindakan pembersihan terhadap rereged yang mengganggu aktivitas ndik kahyangan kene, untuk itu Werkudara, sebelum acara Jemuah Resik ini aku ‘lounching’ marilah kita musyawarahkan kegiatan apa saja yang akan kita lukukan, termasuk sarapan pagi dan acara pasca Jemuah Resik nanti..”
“Nuwun sewu Wa, kula kok mboten mudheng kalian istilah Jemuah Resik ingkang paduka maksud ta?”
“Waah, bocah ki yen lantip mesti pikirane encer. Iki ngene ngger Gathut, iki kan ngepasi karo dina Jemuah ta ngger, dadi program awale awake dewe iki kan bakal nyekel bocah sekti sing nggawe ontran-ontran iki ta ngger, lan dina iki ngepasi karo dina Jemuah, mula kanggo nengeri iki aku mencanangkan Jemuah Resik. Lan misine awake dewe iki jumbuh karo programku sing wis lawas ndak gagas nalika ijik ning Mercapada nalika aku dadi ketua jurusan biyen. Lan kanggo lounching ,nengeri peristiwa penting iki aku uga wis nukokne ‘trening’ sragam olah raga kanggo wong telu, lan ora lali wartawan saka dalam dan luar negeri uga aku undang, supaya meliput ide gagasanku kang cemerlang iki, masyarakat supaya menilai bahwa aku orang hebat yang senantiasa memikirkan kebaikan. Mengko aja meri lho dhi, menawa mung aku wae kang mejeng ing koran, sebab saknyatane iki mau kabeh awit saka ide lan jerih payahku pribadi, mula ya ora aneh menawa aku entuk ‘bersih award’ “ jelas Prabu Kresna dengan amat GR nya
“Jlitheng kakangku, wong itu kalau mau mengaca pada pitutur luhur, mestine ora kawetu ucapan sing kaya mangkono. Iku mono termasuk bebuden asor, rendah derajadnya. Anane Bathara Guru keplayu saka kahyangan awit Guru wis dadi dewa lumuh, mlempem, nyambutgawene acak-acakan, administrasi PAK sing nggo munggah pangkat mung asile sulapan kong-kalikong karo atasane, PTK ora bisa nggawe dewe nanging uga tuku marang kancane utawa menyang pengawase. Akeh pejabat sing kaya mangkono kuwi, ketoke tetulung marang wong liya nanging ngono mau wis nyontoni barang kang ora bener, termasuk tindakan sing culas, apus-apus, lan maneh akibate barang kang dipangan uga dadi barang kang ora kalal, tundone bakal ngasilake barang kang reged uga. Mula aja nggumun Jlitheng kakangku menawa pawiyatan kaya ta pendidikan ing kahyangan uga ing Mercapada dadi rusak, bubrah, morat-marit ora karu-karuan, awit sumber pametune ngliwati dalan kang ora bener. Mula aku ngelikne marang kowe Jlitheng kakangku, aja sok seneng pamer, seneng diketok-ketokne sakabehing tumindak becikmu, tundone mung golek wah, golek pangalembana, golek moncering diri, golek jabatan kang luwih duwur, ngincer kursi bupati, wakil bupati, wali kota, presiden lan liya-liyane, ananging kowe ora sembada, ora gelem nulada marang ngelmune pari, wong iku menawa ngelmune lantip ora bakal ndangak pencilakan kaya manuk branjangan, ndingkluka, aja kadereng golek pamrih, nanging sesidemana ing babagan ngelmu aji, regemen angger-anggering kang kaserat ing kitab suci lan sunah Rasulmu, paribasane tangan tengen paring dana weweh, tangan kiwa aja nganti hanyumurupi, ing kono margane wong kang pinunjul jati..., iki uga ana paribasan, emas senadyan kecemplung endut, menawa kena banyu wening bakal tetep mencorong, ananging sing jenenge tai kucing iku senadyan ta dilumuri coklat mesti rasane ora ora bakal lingsir saka asline”
“Tegese piye?”
“Akeh wong sing kecele marga saka penampilan lan omongane pawongan, ...ketoke wonge gagah, bagus, gede duwur, sarjana S2, tau dadi ketua jurusan, pinter omong lan pinter umuk, sugih akal lan pinter njegali prestasi kancane, pinter melompat nglangkahi hak lan darbeke liyan kanthi cara-cara culas, ananging gandeng pinter nutupi mula para priyagung akeh sing tumungkul. Ananging Jlitheng kakangku, senadyan ta akeh para pejabat sing takluk karo deweke, emas lan prestasi iku mesti ora bakal mencorong, ketua jurusan sing tau disandang ora ndadekne kampus maju nanging malah hancur lebur ora karuan. Nanging dasar bola-bali sing jenenge menungsa iku wus nggawa watak lan sifat kang asli saka kelahirane, mula watak kaya mangkono ora bakal ilang, nanging malah saya ndadra, ilang siji deweke mesti nggolek loro, lan nggoleke mesti kanthi cara-cara julig lan culas maneh, lan elinga Jlitheng kakangku sing jenenge prestasi iku ora usah ndadak dipamer-pamerke, ditonjol-tonjolke,mesti ing sadengah wektu masyarakat luas bakal mbijeni dewe, lan iki sajake wus kasembadan Jlitheng kakangku...,cita-citane dadi penguasa, sing direkadaya wis suwi wis kasil dilungguhi, mula hayo padha disekseni apa ya bener menawa tai kucing mau bakal ora konangan”
“Oh iya di, hayo pada disekseni, lan didongakne, muga-muga pejabat sing ngeyel ndadekne marga kasuwuk karo omongane, sigra sadar, bangkit hanyirep dahuru kang bakal tumiba ing Mercapada iki”

Caleg Berkelamin Ganda

Nata Kresna alon ngendika dhuh yayi prabu hawya sungkaweng tyas solahe rinira ki Harya Werkudara ooong... nadyan wruha yektining pangapus tingkah Kurawa cidra ooong... den apasrah mring Bathara luhung, wong nedya puruhita, ooong....

Perjalanan menuju tempat praktik Wisanggeni ternyata tidak semudah dengan apa yang dibayangkannya. Banyak nama jalan yang sudah tertutup dengan bendera parpol dan caleg-caleg yang ‘menjual diri’. Bahkan ada salah seorang anggota parpol yang ‘konangan’ nyaleg di parpol lain. Dia sengaja ‘ngetes’ kejelian KPU, Panwaslu, dan masyarakat yang telah bermata kabur akibat iming-iming materi dan janji. Prabu Kresna kelihatan tersenyum simpul melihat ulah ‘caleg gurita’ yang sengaja mengais kesempatan dengan jaring-jaring labanya yang dianggapnya kuat.
“Werkudara ?, berdasarkan wisik yang aku terima mengatakan, bahwa bencana yang terjadi di Nuswantara ini merupakan cobaan yang sengaja diturunkan oleh Hyang Akarya Jagad, dan besuk, jikalau Gusti sudah menurunkan seorang pemuda yang kenceng, kukuh, sentosa, istiqomah, memerangi semua kejahatan di atas bumi, sing nerak angger-anggering kautaman, maka musibah ini bakal berakhir. Sementara si Janaka sudah sapta candra, tujuh bulan berada di kahyangan Swarga Dahana, semua ini dilakukan bukan untuk mengumbar hawa nafsunya, itu sama sekali tidak. Akan tetapi dia hanya melaksanakan tugas suci dari Hyang Akarya jagad”
“Tugas, ya tugas, tetapi jangan kemudian membiarkan tugas utama di Ngamarta yang kini tengah dilanda pageblug. Wis ndak titeni, angger si Jlamprong nyumurupi cah wedok ayu, mesti deweke banjur lara wuyung, kedanan, padahal bojone wis pira wae, iki malah bocah durung lulus SD arep disikat pisan, Jlamprong wis ora nggenah, ha....., Kresna kakangku, yen kahanan iki ora enggal dirampungake, ndak kira jagad bakal terus gelap begini..”
“Dimas Werkudara, oleh karena bencana ini datangnya dari Hyang Akarya Jagad, ndak kira ora gampang drajading menungsa kaya awake dewe iki ngilangi dengan cara frontal, dan itu sebuah kemustahilan, untuk itu dimas, hayo coba enggal menemui bocah sekti sing wus gawe ontran-ontran ndik kahyangan kene”

Bima palguna wruh sekaring toya, rikala nggebyur samodra, alun gulung-gulungan , lumembak penyu kumambang , ooong...

“Haaa... Kresna kakangku ini kok ada lakon yang nganeh-anehi, padahal Bathara Guru itu adalah tetungguling para dewa, ratunya dewa, gurunya para guru, gurunya para pengawas dan kepala sekolah, jangan-jangan pas sertifikasi dia ndak lolos...”
“Rama, perkawis menika mboten wonten gandeng-cenengipun kaliyan sertifikasi, perkawis menika urusanipun para guru Marcapada ingkang panik pingin enggal-enggal ndandosi pawiyatan ingkang saya dangu tambah morat-marit, lan pranyata serifikasi menika mboten saged ningkataken mutu pawiyatan, awit mental korup sampun tumancep lebet sajroning sanubari para guru, dados senadyan sertifikasi kaping sewu lamun ta mental korup menika dereng oncat sangking angganipun, mila nggih pancet makaten kewala. Budaya luhung ingkang ngendikakaken ‘sepi ing pamrih rame ing gawe’ luntur, kalis, dados ‘sepi ing gawe rame ing pamrih’ tundanipun purun adamel namung mbujung iming-iming gaji ingkang inggil, tanpa mikiraken mutu para siswa ingkang ngangsu kawruh. Pramila sampun ngungun bilih para nem-neman sakmangke asor bebudene, cubluk ngelmune, cupet nalare, mboten prigel solah bawa, mboten prigel ngadepi pagesangan, nilai saged diakal-akali, ijasah saged ditumbas, kelulusan saged dipetang, sedaya sarwi gampil krana arta, rama ...”
“Kahanan kaya ngono kuwi apa ya kedaden ing Pringgandani ?”
“Alhamdulillah sampun wa ...”
“Weeladalah, jebulnya sami mawon..., Anak Prabu Gathutkaca, para pinter wus tahu paring sesorah menawa indikator mutu pendidikan itu gunggunge ana pitu; 1) pengembangan diri dan orientasi masa depan, 2) sikap sosial dalah hubungan antarmanusia,3) ketaatan pada prinsip agama dan moral, 4) persatuan bangsa, 5) efisiensi biaya, waktu, dan tenaga, 6) kemandirian, 7) pengendalian diri. Aplikasinya , adalah bertakwa kepada Tuhan Pencipta alam, berani, jujur, trengginas, pekerja keras, bersemangat tinggi, bertanggung jawab, terbuka, ramah, sopan, dan santun, suka menolong, taat menjalankan agamanya, pintar bergaul, mandiri, dinamis, dan pantang menyerah, lamunta ana pawiyatan kang ora bisa nandur kautaman sing kaya iku mau, ndak kira pawiyatan iku klebu pawiyatan sing durung kasil ing babagan profesionalitas pembelajaran”
Gathutkaca hanya ndomblong mendengar wejangan Profesor Prabu DR. dr. Drs. Kresna SE, MM, MA, MM. Kes. guru besar di salah satu universitas misterius yang belum terakreditasi status dan keberadaannya.

Sasmita Jaman Kaliyuga

Matahari sudah condong ke arah barat. Prabu Kresna beserta Raden Werkudara dan Gatutkaca masih kelihatan termangu melihat pemandangan orang-orang yang berebut berkah dari kesaktian bocah cilik yang ternyata bernama Wisanggeni.
Dari kejauhan mereka nampak adu mulut dan melempari polisi yang berusaha mengamankan ruang praktik Wisanggeni. Mereka sudah berhari-hari ngantri, bekalnya sudah hampir habis, sedangkan kesabarannya juga semakin menipis. Sementara para petugas sendiri berusaha agar para penduduk yang berjubel setidaknya mau ngantri dengan tertib, jangan sampai kejadian yang merenggut jiwa para pasien terulang kembali. Begitulah kata salah seorang petinggi polisi sambil meneriakkan dengan pengeras suaranya.
Prabu Kresna nampak tersenyum kecut melihat pemandangan seperti itu. Beliau kemudian teringat dengan pesan Pujangga sakti yang pernah hidup di jamannya. Sang Pujangga meramalkan bahwa jaman yang sudah demikian dinamakan jaman Kaliyuga.
“Werkudara, ...”
“Apa jlitheng kakangku..”
“Iki rasane kok jumbuh karo ramalane karo Sri Aji Jayabaya ta ?“
“Bab apa?”
“ Sing jirih ketindih, sing ngawur makmur, sing waras nggragas,wong tani ditaleni, wong dora ura-ura, wong suci bilahi, ratu pada ora netepi janji, tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati, ratu dadi kawula, kawula dadi panguwasa, bupati dadi rakyat, sing srakah melimpah ruah, si bengkong gawe gedong sing werdine, wong kang tumindak durjana, bermental maling, bermental penipu diberi kekuasaan; ada yang jadi bupati, ada yang jadi ulama, ada yang jadi kepala sekolah, ada yang jadi kepala dinas, ada yang jadi dokter, ada yang jadi polisi, ada yang jadi tentara, dan ada pula yang jadi rektor, kemudian wong adol duit saya laris, wong mati keliren nyanding lumbunging pangan, wong nyekel banda nanging uriping sengsara, sing adil uripe kepencil, para pangkat pada peperangan, durjana saya ngambra-ambra, akeh pepati marga musibah alam, wong bener pada thenger-thenger, wong salah padha bungah-bungah, akeh bandha donya musna ora ana gunane, akeh pangkat lan drajat kang oncat, barang haram pating telecek, akeh buruh nantang juragan, sing seru suarane gede pengaruhe, sing pinter di-inger-inger, sing ala disubya-subya, bandha dadi memala, pangkat dadi pemikat, sing sewenang-wenang dadi pemenang, ana bupati sing asor imane, patihe dadi bandar judi, maling lungguh wetenge mblenduk, wong jahat entuk derajat, sekti tanpa aji-aji, sinuyudan wong satanah Jawa. Orang begini ini Werkudara; paribasane idune geni, sabdane melati..”
“Karepe kepiye ?”
“Mangertiya Werkudara, yen ing wektu iki akeh para pemimpin-pemimpin instan, alias mung liwat jalur singkat, jalur koneksi, jalur apus-apus, jalur kolusi, jalur nepotisme, mung banda pinter omong, mung bandha bagus, banda ayu, banda balane akeh, lan liya-liyane.., deweke berkuasa tanpa laku tapa brata, laku prihatin, lan tanpa aji sayekti, ananging gandeng pinter ngglembuk, maka para penentu kebijakan seperti, MA, BPK, MK, DPR, dan BPH, menjadi luluh minger kiblatnya, kemudian menetapkan penguasa yang mempunyai sifat mung pinter apus-apus, pinter ngakali kebijakan pusat, sing tujuane mung nggo golek untung pribadine, lire, yen ana bathine dikekeb dewe, yen ana tunane kon nyangga bawahane, gayane kaya wong kang pinter dewe, kaya wong kang gede dewe, sakabehing ayahan bawahane dijarah-rayah tundone mung nggo ngetokne keprigelane; nanging malah njalari ora pas, lan malah ketok srakahe. Teka njaluk disubya-subya, bar mbukak acara segera pergi menjaga jarak dengan kawula, berlagak seperti orang penting, nanging ora becus sejatine. Wong kaya mangkene iki wus akeh kang dumadi, mula Werkudara, Gathutkaca..”
“Hiya ... ana apa?”
“Nun inggih wa ?”
“Ayo aja nganti kesuwen, ayo ndang dipethuki bocah sekti kae”

Irikata Sang Narendra Kresna angideri ngantariksa, tuhu lamun Sang Hyang Wisnu ngabathara Memayu hayuning bawana ...oooong

Ketiganya segera berangkat menuju tempat Wisanggeni yang tengah dikerumuni orang-orang yang butuh berkah dan kesembuhan darinya. Di sepanjang perjalanan, baliho-baliho dan bendera partai politik bejibun, mengotori pemandangan di sekitar perempatan-perempatan kota kahyangan Suralaya. Mereka tanpa malu menjual dirinya sendiri. Memuja dirinya sendiri, mengagung-agungkan dirinya sendiri, membual kesana-kemari, seakan dunia telah digenggamnya. Obral sana obral sini, lagaknya bagaikan dermawan yang tengah gatal berbagi rejeki, tong kalitong kabeh pada pitong, sing mencorong mung aku dewe, pet upet lawe benang, tak sabetne gunung jugrug segara sat. Sementara masyarakat semakin cerdas, kesempatan ini digunakan untuk menaikkan bandrol dirinya untuk jual mahal, “wanimu pirang ewu?”, begitulah suara mereka yang kadang menggetarkan mental sanubari untuk mengeluarkan ‘jurus mabuk’ jadi dermawan dadakan, tanpa petang dan petung kekuatan sejatinya. Maka jangan heran jika pemilu rampung, maka rumah sakit umum dan rumah sakit jiwa bakal kebanjiran caleg yang tidak termuat dalam kantor dewan. Sawah pematang milik orang tua dan mertua ludes, ditanami dengan padi fantasi dengan kalkulasi spekulasi. Modar, ambyar, bubar, terlantar.... “hayo pemilu depan siapa lagi yang jadi korban ?????????”

Wahyu Instan Cuwilan Batu

Berita tentang Bocah Sekti kini kian menggemparkan para penghuni Mayapada dan Kahyangan Suralaya. Hampir setiap hari rumah mungil yang ditinggali oleh bocah sekti tersebut didatangi oleh umat manusia yang menyemut. Mereka meyakini kalau Tuhan telah menurunkan ’daya linuwih’ yang mampu mengabulkan semua permintaan lewat batu yang hanya dicelupkan air dalam ember. Bahkan kini seakan fenomena bocah sekti itu, melahirkan ’kreatifitas’ baru yang memunculkan ’kreator mistis instan’ dengan mengaku-aku dapat ’wahyu’ lewat sebuah wisik gaib, dengan pemberian sebuah ’cuwilan’ batu ajaib oleh malaikat berjubah serba putih - mirip kisah para dukun sakti yang sebelumnya telah eksis- menciptakan mesin-mesin uang yang bisa merubah perekonomian dengan sekejap.
Tak pelak para cendekiawan (kaum pinter yang bertubuh pendek : red) segera bereaksi dengan keras, mengeluarkan pernyataan bahwa masyarakat kini tengah sakit. Sakit akidahnya, sakit ekonominya, sakit kantongnya, dan sakit nalarnya. Pemerintah telah gagal menciptakan opini bahwa kesehatan itu murah. Dokter-dokter telah menjadi ’pemalak-pemalak ilegal’ terhadap pasien yang tengah ’kepepet’. Sementara ulama juga telah gagal mengemban tugas sebagai pengawal akidah yang lurus. Mereka mudah luntur dengan godaan dunia yang penuh gemerlap dan menyesatkan, sehingga akidah mudah disamarkan bahkan bisa dibeli dengan sekeping uang perak, kemudian dibiarkan manusia menyembah manusia, bahkan menyembah ’cuwilan batu’ sekalipun. Inilah potret negri kita yang bertabur dengan ’ngelmu klenik’ , sesuatu itu bisa dihubung-hubungkan hanya berdasar ’ngelmu kira-kira, ngelmu mbokmenawa, dan ngelmu jarwa dhosok. Janganlah salahkan mereka, tetapi marilah kita urai kepada peran para cendekiawan dan agamawan kembali , sampai sejauhmana peran mereka mengawal akidah yang sesuai dengan ajaran Nabi?.
Namun demikian apakah yang datang hanya kaum ’sakit’ saja ?.Tidak !!. Tetapi mereka terdiri dari orang-orang miskin, orang-orang yang berpendidikan rendah, ribuan pejabat, caleg, pedagang, mahasiswa,dosen, rektor, guru, camat, lurah, Hansip, Satpam, Polisi, Tentara, dan para petinggi berbagai instansi, tumplek bleg ngantri berhari-hari agar bisa mendapatkan ’cem-ceman batu sakti’ yang konon mampu menghentikan lumpur ’muncrat’ milik Lapindo sekalipun.Bahkan kalau ndak dapat airnya, paling tidak bisa mendapatkan air sisa mandi, atau apa saja yang berada di sekitar bocah sekti tersebut, seperti sisa makanannya, sisa minumnya, bekas piring dan gelasnya, air talang, lambaian tangannya dan sebagainya, yang diyakini segala sesuatu yang berada di sekitarnya, diyakini akan mendapat karomahnya.
Masing-masing yang datang berbeda-beda niatnya. Yang guru meminta agar portofolio sertifikasinya lolos sensor, yang pedagang meminta agar laris dagangannya, yang camat meminta agar para lurah tidak mendemo kebijakannya, yang bupati,dan caleg meminta agar pemilu mendatang bisa terpilih kembali, yang satpam, meminta agar tugas malamnya tidak diganggu oleh garong, sementara ada salah seorang rektor baru-jilmaan Dewa Srani, dengan wajah tampan, lemah lembut, pintar menjebak, penuh muslihat ; merupakan satriyanya makhluk halus-dari Universitas Dandang Mangore yang datang meminta, agar semua kelicikan, akal bulusnya, semua rencana busuknya, dan masa lalunya yang pernah memalsu data, mengkorup uang masyarakat miskin, mengkorup uang recovery SMK pemerintah Dandang Mangore, memakan uang teman sejawatnya, dan terakhir berbuat culas kepada kandidat rektor yang lain, agar diberi slamet wilujeng, orang lain tidak ngonangi,dan kalau bisa karirnya bisa melejit menjadi pangeran yang bisa berkuasa di kabupaten Dandang Mangore. Sedangkan para pramuwisma permintaannya hanya sederhana, yaitu hidupnya agar lebih tenang lagi, tidak digusur oleh satpol PP dan pemerintah yang tidak punya hati nurani.
Baiklah, kita tinggalkan kisahnya bocah sekti dengan ajian wahyu ’cem-ceman batu’, yang kini menjadi sorotan dari berbagai pihak yang merasa dirugikan. Kini kita sekarang kembali kepada rombongan punggawa Ngamarta yang tengah menjalankan tugasnya.
”Kresna Kakangku, aku kok ndak habis mikir, lha wong ing atasnya mbahnya, atau penguasanya dewa, lha kok kalah sama anak kecil, ini apa tidak mewirangkan?”
”Weeladalah, si adi kudu sadar, Bathara Guru itu juga bersifat titah. Dia juga punya kelemahan dan kekurangan, maka ya mokal kalau dia itu tidak punya kelemahan”
”Malah sekarang para penduduk di sana sudah minger keblate, syirik !, watu, sak banyune kaya-kaya sing bisa marekne penyakite. Bocah cilik kuwi mau kudu ndang di amanke, mesakne, para kawula mung dadi korban, rusak akidahe, salah-salah dewekne dianggep sing nggawe urip, kuwi luput sing tikel matekuk !, padahal menawa berobat kepada dokter , itu lebih baik dan masuk akal, ya slamet akidahe, masyarakat kini jadi sakit”
”Werkudara, aku arep takon coba wangsulana, sing teka berobat menyang kono kae kira-kira masyarakat mampu apa ora?”
”Yen nurut pamawasku, rata-rata wong sing ora mampu”
”Kowe ngerti, menawa deweke berobat nyang dokter sing nganggo biyaya mahal apa kira-kira ya mampu ?. Padahal kowe dewe rak ya ngerti ta, dokter ning Ngercapada dewe sing nggawe opini menawa berobat iku mesti larang, lan pemerintah babar pisan ndak pernah membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat miskin. Buktine, ASKIN sing mestine gampang kanggo berobat, nanging masyarakat trima nggo pingpong, ditelantarkan kemudian diputar-putar agar pelayanan menjadi semakin melelahkan, terus ujung-ujunge masyarakat memilih dokter dengan terpaksa. Mbok ya sekali-kali ada dokter yang iklas tumusing batin melayani masyarakat dengan jujur, ramah, dan murah, hayo jajal goleka sing kaya mangkono kuwi sekarang, langka, Werkudara !!., terus orang-orang yang memilih jalur alternatif itu adalah orang-orang yang terpaksa, mereka sudah tiddak punya pilihan lain yang berpihak kepadanya. Jangan memvonis masyarakat yang sakit, tetapi ulama, dokter, pemerintah, guru, dosen, rektor, anggota dewan serta para pejabat-pejabatlah yang sakit. Mereka perlu segera disehatkan terlebih dahulu, masyarakat miskin adalah efek samping dari keculasan mereka”

Ontran-ontran Bocah Sekti

Lamat-lamat gendhing Sampak Manyura berhenti berkumandang. Suasana di Pendhapa Agung Ngamarta berubah menjadi hening. Prabu Puntadewa, Raden Gathutkaca, Werkudara , dan Prabu Kresna tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya. Suasana hening tiba-tiba terusik oleh suara langkah kaki yang terdengar halus dan berwibawa. Bau parfum seorang narendra menyibak seluruh sudut ruangan. Mereka terkesiap, dan buru-buru hadirin bangkit dan memberikan penghormatan , karena ternyata Pukulun Bathara Guru rawuh.

Leng-lenging ndriya mangu-mangunkung kandhuhan rimang, lir lena tanpa kanin yen tulusa mengku sang dyah utama, oooong....
”Pukulun sak rawuhipun Hyang Adi pukulun, wonten ing pandhapi praja Ngamarta, titah pujangkara pun Puntadewa ngaturaken sembah sungkem pangabekti pukulun”
”Putuku ngger Puntadewa, ya wis ulun tampa dene kita ngaturake bekti marang ulun, untuk itu terimalah pangestu ulun Punta”
”Demikian juga hamba pukulun, kula pun Kresna juga menghaturkan sembah bekti Hyang Adi pukulun, lajeng tadi pukulun naik apa kesini ...”
”Eh iya..iya Kresna sudah ulun terima sembah bektimu, oh iya ulun tadi ke sini dijemput oleh mobilnya salah satu parpol, lumayan ulun juga dapat stiker, gendera, kaos dan nasi bungkus gratis...”
”Lha apa pukulun sudah dipinang oleh mereka?”
”Ah, sapa sing kandha, ulun ini pegawai negri, ngger Gathutkaca, ulun ada di mana-mana, mula ya aja nggumun menawa poster ulun isa dipasang karo parpol ngendi wae, katanya untuk pelaris” jawab Bathara Guru sambil memperlihatkan souvenir dari salah satu caleg yang mengantarkannya.
”Waaaa..., Bathara Guru kakekku, aku juga ngaturake pangabekti, Bathara Guru kakekku”
”Oh iya Bratasena, tak tampa pangabektimu, ganti pangestuku tampanana Bima”
”Pukulun mohon pangapunten, wayah paduka ing Ngamarta segera menanti dhawuh dari paduka, ada apa kok pukulun kelihatannya ada sesuatu yang sangat penting, apa ada maksud untuk memberi pidana kepada kami pukulun?”
”Ngger Punta, aja kaduk ati bela panampa, babar pisan sama sekali, ulun tidak akan memberikan hukuman kepada kalian, malah sebaliknya Punta, sebab sekarang ini Kahyangan Suralaya lagi ada kekacauan yang ditimbulkan oleh seorang pemuda yang sakti mandraguna. Ia memaksaku untuk menunjukkan kedua orang tuanya, padahal aku sendiri juga ndak paham. Sampai-sampai aku telusuri ke kantor-kantor kelurahan, kecamatan-kecamatan hingga ke kantor catatan sipil, blas ngger mereka ndak ada yang paham. Malah sekarang ini deweknya mengancam nyawaku, aku dikejar-kejar, pokoknya kalau kamu sebagai kepala DPRDnya kahyangan tidak bisa menunjukkan kedua orang tuanya, dia mengancam akan mengerahkan massa yang lebih besar , seluruh elemen masyarakat, parpol dan mahasiswa akan menghantar peti mati ke kantorku ngger”
”Nuwun inggih pukulun, kalau begitu sebisa-bisanya Puntadewa akan membantu pukulun. Kaka Prabu Kresna, menika pukulun Bathara Guru meminta bantuan kita untuk menangkap pemuda tersebut, bagaimana ini?”
”Nuwun inggih yayi, sebaiknya para prajurit akan segera aku bawa terbang ke sana, kasihan nanti , mereka para widadara dan widadari akan terganggu kenyamanan hidupnya...”
”Kaka Prabu, kalau begitu saya hanya bisa menyerahkan sepenuhnya masalah ini, semoga musibah di sana segera tersibak dan kehidupan menjadi normal kembali. Adhiku.. dhi.. Werkudara, sira sebagai benteng dan suh jejet wengkuning praja Ngamarta, jangan wedi kangelan ikutlah Kaka Prabu Kresna, tangkaplah pemuda yang lagi ngamuk di sana, demikian juga kamu ngger Gathutkaca, ndereka ramamu, ya ngger”
”Hmmm... ya, kalau itu sudah menjadi keinginan mbarep kakangku, aku siap melaksanakannya, untuk itu hayo Gathut enggal budhal, pamita dhisik marang wakmu”
”Sendika dhawuh rama...” keduanya terus berpamitan kepada Prabu Kresna.
”Iya..iya Werkudara, Gathutkaca, pangestuku tansah ambanyu mili, muga-muga tansah lebda ing karya”
”Bathara Guru kakekku, aku nyuwun pamit lan njaluk pangestu”
”Werkudara , pangestu ulun muga bisa anjalari lebda ing karya”
”Pukulun Bathara Guru, dan Yayi Aji, keparenga rakanta berangkat yayi, dan pukulun saya mohon tambahing pangestu”
”Wayah ulun ngger Kresna, tansah ndak pangestoni, moga-moga kita tansah lebda ing karya”
”Kaka Prabu, tidak lupa saya hanya bisa berdoa, semoga kaka Prabu senantiasa bisa menyelesaikan masalah, tansah manggih ing kayuwanan”
”Yayi Bratasena lan sira kaki Prabu Gathutkaca, ayo ngger jangan kelamaan kita di sini, hayo segera kita berangkat”

Ontran-ontran Bocah Sekti

Lamat-lamat gendhing Sampak Manyura berhenti berkumandang. Suasana di Pendhapa Agung Ngamarta berubah menjadi hening. Prabu Puntadewa, Raden Gathutkaca, Werkudara , dan Prabu Kresna tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya. Suasana hening tiba-tiba terusik oleh suara langkah kaki yang terdengar halus dan berwibawa. Bau parfum seorang narendra menyibak seluruh sudut ruangan. Mereka terkesiap, dan buru-buru hadirin bangkit dan memberikan penghormatan , karena ternyata Pukulun Bathara Guru rawuh.

Leng-lenging ndriya mangu-mangunkung kandhuhan rimang, lir lena tanpa kanin yen tulusa mengku sang dyah utama, oooong....
”Pukulun sak rawuhipun Hyang Adi pukulun, wonten ing pandhapi praja Ngamarta, titah pujangkara pun Puntadewa ngaturaken sembah sungkem pangabekti pukulun”
”Putuku ngger Puntadewa, ya wis ulun tampa dene kita ngaturake bekti marang ulun, untuk itu terimalah pangestu ulun Punta”
”Demikian juga hamba pukulun, kula pun Kresna juga menghaturkan sembah bekti Hyang Adi pukulun, lajeng tadi pukulun naik apa kesini ...”
”Eh iya..iya Kresna sudah ulun terima sembah bektimu, oh iya ulun tadi ke sini dijemput oleh mobilnya salah satu parpol, lumayan ulun juga dapat stiker, gendera, kaos dan nasi bungkus gratis...”
”Lha apa pukulun sudah dipinang oleh mereka?”
”Ah, sapa sing kandha, ulun ini pegawai negri, ngger Gathutkaca, ulun ada di mana-mana, mula ya aja nggumun menawa poster ulun isa dipasang karo parpol ngendi wae, katanya untuk pelaris” jawab Bathara Guru sambil memperlihatkan souvenir dari salah satu caleg yang mengantarkannya.
”Waaaa..., Bathara Guru kakekku, aku juga ngaturake pangabekti, Bathara Guru kakekku”
”Oh iya Bratasena, tak tampa pangabektimu, ganti pangestuku tampanana Bima”
”Pukulun mohon pangapunten, wayah paduka ing Ngamarta segera menanti dhawuh dari paduka, ada apa kok pukulun kelihatannya ada sesuatu yang sangat penting, apa ada maksud untuk memberi pidana kepada kami pukulun?”
”Ngger Punta, aja kaduk ati bela panampa, babar pisan sama sekali, ulun tidak akan memberikan hukuman kepada kalian, malah sebaliknya Punta, sebab sekarang ini Kahyangan Suralaya lagi ada kekacauan yang ditimbulkan oleh seorang pemuda yang sakti mandraguna. Ia memaksaku untuk menunjukkan kedua orang tuanya, padahal aku sendiri juga ndak paham. Sampai-sampai aku telusuri ke kantor-kantor kelurahan, kecamatan-kecamatan hingga ke kantor catatan sipil, blas ngger mereka ndak ada yang paham. Malah sekarang ini deweknya mengancam nyawaku, aku dikejar-kejar, pokoknya kalau kamu sebagai kepala DPRDnya kahyangan tidak bisa menunjukkan kedua orang tuanya, dia mengancam akan mengerahkan massa yang lebih besar , seluruh elemen masyarakat, parpol dan mahasiswa akan menghantar peti mati ke kantorku ngger”
”Nuwun inggih pukulun, kalau begitu sebisa-bisanya Puntadewa akan membantu pukulun. Kaka Prabu Kresna, menika pukulun Bathara Guru meminta bantuan kita untuk menangkap pemuda tersebut, bagaimana ini?”
”Nuwun inggih yayi, sebaiknya para prajurit akan segera aku bawa terbang ke sana, kasihan nanti , mereka para widadara dan widadari akan terganggu kenyamanan hidupnya...”
”Kaka Prabu, kalau begitu saya hanya bisa menyerahkan sepenuhnya masalah ini, semoga musibah di sana segera tersibak dan kehidupan menjadi normal kembali. Adhiku.. dhi.. Werkudara, sira sebagai benteng dan suh jejet wengkuning praja Ngamarta, jangan wedi kangelan ikutlah Kaka Prabu Kresna, tangkaplah pemuda yang lagi ngamuk di sana, demikian juga kamu ngger Gathutkaca, ndereka ramamu, ya ngger”
”Hmmm... ya, kalau itu sudah menjadi keinginan mbarep kakangku, aku siap melaksanakannya, untuk itu hayo Gathut enggal budhal, pamita dhisik marang wakmu”
”Sendika dhawuh rama...” keduanya terus berpamitan kepada Prabu Kresna.
”Iya..iya Werkudara, Gathutkaca, pangestuku tansah ambanyu mili, muga-muga tansah lebda ing karya”
”Bathara Guru kakekku, aku nyuwun pamit lan njaluk pangestu”
”Werkudara , pangestu ulun muga bisa anjalari lebda ing karya”
”Pukulun Bathara Guru, dan Yayi Aji, keparenga rakanta berangkat yayi, dan pukulun saya mohon tambahing pangestu”
”Wayah ulun ngger Kresna, tansah ndak pangestoni, moga-moga kita tansah lebda ing karya”
”Kaka Prabu, tidak lupa saya hanya bisa berdoa, semoga kaka Prabu senantiasa bisa menyelesaikan masalah, tansah manggih ing kayuwanan”
”Yayi Bratasena lan sira kaki Prabu Gathutkaca, ayo ngger jangan kelamaan kita di sini, hayo segera kita berangkat”

Prodi Reog Jurusan Suminten Edan

Hujan campur badai telah menenggelamkan tongkang yang sarat muatan di perairan Ngawiyat. Badan BMG yang bertugas mengintai cuaca sepertinya kecolongan atas musibah ini. Mereka lupa mengirim pesan dan nasehat kepada Syah Bandar Pelabuhan Ngawiyat. Di radarnya tidak terdeteksi kalau Dewa Baruna dan Dewa Bayu tengah membakar ikan di perairan Ngawiyat. Jadi pas apinya belum menyala kedua dewa yang menguasai angin dan samodra itu tengah mengibas-ngibaskan kipas yang berukuran uamaat buuuesar, hewes...hewes..., tiba-tiba terjadilah angin ribut yang menghempaskan apa saja termasuk ombak dan kapal yang tengah membawa ratusan penumpang gelap yang tengah melintas di perairan itu. Kontan Dewa Baruna amat menyesal melihat korban-korban para manusia yang tidak berdosa itu kian mengenaskan. Demikian juga dengan Dewa Bayu, beliau segera meletakkan kipasnya, kemudian menolong manusia dengan peralatan seadanya.
Kontan gemparlah seluruh penduduk Pertapan Ngawiyat. BMG memberikan sinyal peringatan kepada seluruh pengguna jalur transportasi darat dan udara agar hati-hati dan waspada, sebab angin kipas yang dihembuskan Dewa Bayu volumenya terlalu besar, sehingga sangat membahayakan kedua jalur transportasi tersebut. Sedangkan Dewa Baruna yang menguasai air lautan segera mengambil tindakan cepat untuk meredam laju ombak yang telah menghempaskan kapal-kapal nelayan, dengan cara menghalang-halangi ombak tersebut dengan kedua belah telapak tangannya. Seketika badai dan ombak besar ’sirep’ tinggal silir-silir , dan kricik-kricik , memberikan peluang kepada para nelayan untuk melaut kembali.
Sementara itu tidak jauh dari tempatnya para dewa, para penduduk tengah menggelar ruatan massal atas terjadinya musibah ini. Kali ini sesaji diperuntukkan untuk para dewa yang telah menurunkan bencana kepada mereka. Mereka membujuk kepada para dewa agar bencana itu tidak diturunkan kembali. Mereka telah mengirimkan makanan kesukaan para dewa. Mereka juga rela merogoh koceknya untuk nanggap reog kesukaan para dewa juga. Untuk itu mereka memohon agar Dewa Baruna tidak lagi bermain-main bakar-bakaran ikan lagi, ganti saja dengan ikan presto, hasilnya lebih gurih. Dan tolong sampeyan jangan bikin bencana lagi, pinta salah seorang titah memelas.
”Sudah banyak korban yang berjatuhan pikulun...., mugi paringa kawelasan dumateng kula sedaya, menika kula caos sesaji, caos lelipur arupi Reog Ponorogo, mugi sedaya menika dados lila ing penggalih kersa pikulun nampi sedaya panyuwun kula... amiiin” Kata salah seorang tetua yang bernama Soero Gentho.
”Nuwun sewu lurahe..”
”Ya, ada apa Den Mas Brata?”
”Tumben yang mengikuti upacara ini kok tidak banyak kenapa ya?”
”Mbok menawa wae lagi banyak orang yang sedang ’tandur pari, den mase”
”Waah, biasanya ketika ada acara kayak begini ini umasyarakat pada datang berduyun-duyun, lha kok ini Cuma ada lima rombongan saja. Memprihatinkan banget lurahe...”
”Itulah Denmase, aku kadang-kadang juga jadi pusing sendiri, lha wong Reog itu kesenian yang sudah mendunia lo, lha kok pemerintah itu ndak tanggap, lha ya mestinya kan ya dibuatkan prodi reog ngono ta Raden?”

Raden Mas Brata menjadi semakin tidak nyaut alias ora mudeng dengan ide Ki Demang Soero Gentho, yang uuamat uasing di telinganya. Habis biasanya Ki Gentho itu ujung-ujungnya hanya mbanyol sih, jadi pastilah istilah PRODI hanyalah bahasa prokem, alias bahasa plesetan ”Proyek Memedi, kali”, batin Denmas Broto, menafsirkan sekenanya. Namun setelah Ki Demang mempresentasikan dengan LCD-nya, Denmas Brata baru tanggap.
”Oooo, jadi di padhepokan kita ini perlu membuka program studi Reog ta, Ki?”
”Tepat Raden. Aku kuwatir, jangan-jangan besok, generasi muda kita akan kehilangan budaya adiluhung ini, Raden”
”Betul Ki Demang, aku kemarin juga sudah rasan-rasan sama Suminten, bagaimana nasibnya kesenian ini jika kita sebagai mahasiswa tidak peduli dengan ini semua. Malah Suminten bersedia sebagai dosen seni tarinya. Nanti dia akan melatih para ’penari eblek’ atau jathilnya, Ki”
”Waaah aku bangga, kamu sebagai calon dosen bisa menyumbangkan ide yang bagus untuk kelestarian budaya kita, malah aku ya sudah menyiapkan calon kaprodinya barang, dhekwingi dia sudah aku hubungi via SMS, dia sepertinya sarujuk banget, tapi entah ya, pas aku nilpon, banyak kendaraan peserta kampanye yang meraung-raung sih, jadi ya cuma aku tapsirkan kalau dia itu sangat mendukungnya ...” jelas Soero Gentho sambil membenahi udhengnya.

Tak terasa sore itu pembicaraannya nampak semakin ’ngayawara’ alias ngelantur ke mana-mana. Sepertinya mereka tengah mabuk kepayang dengan hasil riset ’semata wayangnya’.
”Aku membayangkan, kalau prodi ini benar-benar terjadi, pastilah bakat nari Suminten bakal tersalurkan....”
”Dan aku usul Raden, prodi ini biar sensasional dan sensual, beri nama jurusan Suminten Edan, orang luar biar berbondong-bondong kedanan dengan gaya Suminten yang ngebor” pungkas Ki Gentho calon PR 2 sambil menyodorkan rencana pembelian jaket almamter dan kalender untuk calon mahasiswa yang meluber.

Ajar Menejemene Wong Jawa

Pesta Grebeg Sura, baru saja usai. Dari tahun ke tahun temanya amat membosankan. Nuansa Islami yang melatari ritual itu sudah dinyatakan krodit alias amblas tanpa bekas. Kesan hura-hura, jor-joran pemborosan biaya karnaval yang hingga puluhan juta bahkan hingga ratusan juta nampak di pelupuk mata menjadi ajaran yang jauh dari nilai-nilai agama, bangga, congkak, riak, takabur hingga sampai meninggalkan kewajiban lima waktu untuk beribadah sesuai dengan nilai Islam. Ironisnya justru kalangan pendidikan yang menyalakan api jor-joran kemewahan tersebut. Padahal kalau kita runut ke belakang, sejarahnya Bathara Katong atau siapapun yang pindah dari kota lama ke kota baru kemudian dibarengkan dengan awal tahun baru Hijriah, jelas bukan tanpa ’waton’. Yang pertama adalah agar nilai Islam lebih mewarnai kemudian bisa membumi di Kadipaten Ponorogo pada waktu itu. Kedua, agar kepindahan itu bisa dicatat sebagai ikrar tradisi yang ingin mengikuti ajaran Nabi yaitu hijrah dari perbuatan jahiliyah menuju kepada ajaran Islam yang murni. Dan merekapun boyong dibarengi dengan laku prihatin yang sarat dengan nilai sakral dan ke-khidmadan yang tinggi. Mereka tetap bedzikir, eling kepada Kekuasaan Yang Maha Wikan. Hening, heneng, jauh dari kesan hura-hura, jor-joran kemewahan, jor-joran kemegahan dan pamer keunggulannya. Mereka sayuk saeka kapti, sama rasa, sama-sama berjuang untuk mengalahkan hawa nafsu, menjauhkan sifat-sifat tidak terpuji yang dilarang oleh Islam. ”Namun memprihatinkan kini, ajaran-ajaran setan bekasaan telah merambah dunia pendidikan, anak-anak telah digiring dan direcoki dengan paham-paham glamour gemerlapnya dunia fana. Mereka telah dibentuk dengan rasa-rasa keakuan yang menyesatkan. Mereka telah ditanamkan perasaan untuk selalu mengalahkan dan merendahkan orang lain, kurang ajar !!” sergah Panembahan Dewa Resi seusai melihat tayangan ulang Grebeg Sura di wilayahnya.

Sementara itu jam di pertapan Ngawiyat sudah menunjukkan pukul sebelas tigapuluh , sebentar lagi sembahyang Lohor segera dilaksanakan. Para Punakawan nampak ngantri di tempat ’padasan’ bergiliran bersuci.
Seusai mereka sembahyang berjamaah, Panembahan Dewa Resi seperti biasanya langsung memberikan wejangan kepada para cantrik yang ada di padhepokannya. Namun kali ini para cantrik itu sedang pulang kampung, liburan semester. Dan kini mereka diganti oleh para punakawan.
”Petruk, Gareng dan Bagong, hayo mendekat kemari”
“Inggih Panembahan...”
“Aku bakal nerusken kembali bab kepemimpinan nurut ajaran Jawa ya?”
“Inggih Panembahan”
“Prayogane padha dicathet, aja nganti mung dirungakne, mengko mundhak lali”
“Inggih panembahan, kula sampun sumadiya”
”Bagus”
Panembahan Dewa Resi kemudian mengambil secarik kertas kerpekan dari kantong jubahnya.
”Kawruh menejemen manut cara kejawen itu ada tiga perangan. Yaitu; 1) Kantha , artinya rencana /program kerja yang sudah dipersiapkan secara matang akan tetapi masih bersifat abstrak, 2) Kanthi, artinya semua rencana hanya bisa diwujudkan jika ada yang melaksanakan, dan ada sarana dan prasarana yang memadai, lha untuk mewujudkan ini ada tiga perangan yaitu guru bakal, guru dadi, dan bahu suku kang awujud sumber daya manusia yang memiliki ; a) guna, kaya, dan purun. Guna ateges bisa ngrampungi gawe alias terampil trengginas. Kaya ateges ora milikkan, yen ana barang kang aji ltidak kepingin digawa mulih, purun ateges besar rasa tanggungjawabnya, 3) Tata titi, tegesnya tata runtut manut waton, artinya sesuai dengan peraturan, sedangkan titi berarti pekerjaannya dilaksanakan dengan tekun tanpa mengalami kesalahan. Untuk itu ngger, menawa kowe dadi pemimpin aja nduwe rasa isin menawa pingin bertanya-tanya ngenani bab apa saja kepada bawahan sekalipun. Turunlah sedekat-dekatnya kepada semua pihak, lha yen perlu ajaklah mereka berembug apa saja demi kemajuan pemerintahanmu. Dadi pemimpin aja bisane mung prentah wae, kowe kudu bisa dadi suri tauladan, becik trapsilane, andhap asor, ngerti unggah-ungguh, basane jangkep, semua ucapan enak bila didengarkan/ tidak menyakitkan atau menjatuhkan orang lain.....”
”waah Panembahan, semua yang panjenengan ucapkan benar-benar amat menarik, tapi rasanya sulit dilaksanakan”
”Mula kowe ya aja gumampang maju dadi anggota dewan, sebab...”
”Sebabe apa?”
”Suk neraka iku nomer loro sing akeh dewe penghunine yaiku saka anggota dewan lho Truk”
”Kok isa?!”
”Lha hiya ta, lha senengane ngumbar janji, nalika kampanye kae, jebul bareng wis dadi, mak busssss, wujude wae ora ana babar blass, paling mung stiker karo rokok sak conthong sing ana gambare dekne, lha ya ngono kuwi apa ora ateges neraka jahanam. Ya yen sak iki dewekne durung ngrasakne, nanging aku niteni kok para manungsa keparat kuwi yen tuwa akeh-akeh lara diabet, kencing manis, strup... eh seteruk, sikile kriting kaya Gareng iki lho...”
”He !, kowe mau cangkemu muni apa, oooo tak pathak raimu engko” sergah Gareng emosi
”Wis...wis aja padha padudon, kabeh mau ciptaane Gusti Alloh, aja pada ejek-ejekan, hayo saiki padha mangan...” potong Panembahan Dewa Resi mengingatkan.
Tanpa dikomando Bagong langsung lari menuju dapur.

Piwulang Jejering Pemimpin

Sore itu langit di atas pertapan Ngawiyat nampak gelap. Para Punakawan memilih diam di pertapan daripada keluyuran di alun-alun atau di jalan baru yang hanya cangkrukan ngobrol ngalor ngidul nggak ada manfaatnya, belum lagi hujan gerimis sudah mulai turun. Mereka enakan ngobrol sama Panembahan Dewa Resi sambil makan jagung bakar plus jadah goreng lumayan kenyang dan banyak manfaatnya.
”Pripun janji panjenengan kalawingi Panembahan?” tanya Petruk tiba-tiba
”Lha apa kowe wis paham kabeh apa durung karo piwulangku, dhek wingi kae?”
”La nek kula nggih dereng panembahan, entahlah kalau kang Gareng”
”Piye Nala Gareng, kowe apa ya wis mudheng bab jejering pemimpin..”
”Waa, menawi kula sedaya sampun gadah panembahan. Malah piwucal panjenengan menika sampun wonten ing buku lan CD kula teng griya, malah sedaya bab administrasi, kepemimpinan, kepegawaian, puun cekake komplit-plit..”
”Gek kabeh ya wis mbok waca apa durung?”
”Nggih niku panembahan, .... dereng....”
”Waaah, layak ta Reng...Reng, saben-saben kowe ki mung binguuung wae, masa kowe ki dadi atasan ning ora paham apa sing dadi wewenangmu,
tugasmu amburadul, surat-surat salah kabeh, anak buahmu mumet bingung, ora isa mbedakne surat dinas karo surat ’dimas’, kabeh mbok gebyah uyah rumangsane karo pacarmu wae, hoalah ta Reng...Reng ngono kok dadi atasan, lha lek aku pilih bawahan wae, akeh penake, contone njero rok kae...” jelas Bagong sambil cengengesan
”Oalah bocah edan kok dirungokne, ...(Petruk menghela napas, kemudian..) lajeng dos pundi Panembahan kelajengipun piwucal kalawingi?”
”Kae lo Reng melua ngrungokne , ben melu pinter, sapa ngerti suk nasibmu kepener , bisa dadi traktor, eh rektor.., nggih Panembahan ... pun mbah panjenengan lajengaken malih, kula nggih tumut sinau” pangkas Bagong menyela pembicaraan
”Hiya Bagong, Gareng dan Petruk, aku arep ngonceki lagi bab syarat-syarate dadi pemimpin. Dhek wingi tumeka ing bab Mangkat, matah, matrap lan mandum terus ndak tambahi, lamunta aweh gawe utawa pekerjaan marang kawula utawa bawahan, miliha wong kang profesional, pas karo kepinterane. Jangan sampai ada pepatah cangkul engkau pakai membelah kayu, atau wadung kamu pakai menggarap tanah , iku jenenge aweh gawean ananging ora pas babar pisan. Akibate gawean dadi rucah, rusak ora karu-karuan, aja mentang-mentang ndisik dadi team suksesmu banjur diangkat ngono wae tanpa nonton keahliane. Terus mangkat artinya apa yang telah engkau dapatkan sebagai pemimpin niatana budhal atau berjalan untuk memperoleh kebaikan tanpa pamrih. Matah maksudnya kalau kamu jadi pemimpin bisoa milih dan milah siapa saja orang yang layak mendapatkan pekerjaan berdasarkan kemampuannya. Matrap artinya memberikan sanksi kepada siapa saja yang bersalah, dan memberi hadiah atau penghargaan kepada siapa saja yang berprestasi, tanpa pandang bulu. Mandum, artinya membagikan penghasilan atau rejeki secara adil dan merata kepada seluruh warga. Jangan sampai kalau ada proyek yang sekiranya mendapatkan keuntungan terus dikuasai sendiri, sedangkan kalau ada proyek yang tidak ada uangnya diberikan kepada orang lain, iku tegese srakah atau rakus. Oleh karenanya Truk, kalau kamu jadi pemimpin kowe kudu gemi, artinya bisa mengelola dengan cermat segala pendapatan dengan merata, tidak boleh boros, sukur bage yen isa mengembangkan pendapatan sing tundhone isa nambah makmure nasibe para kawulamu ,nastiti artinya cermat dalam mengelola pengeluaran , ngati-ati maksudnya ngarah-arah sabarang reh, patrap ing tindak-tanduk , laku linggih
Solah myang muni mung ngesthi tyas weweka wikara ing pakewuh, lamunta ana barang widhi atau barang yang tidak syah ora bakal katampa. Piye Gareng ?, apa wis mudheng kabeh ?
” Oalah dasar menungsa ora enak, he ! Reng !!!, lha wong dijelasne lha kok malah merem, tangi ... tangi Reng !” teriak Bagong sambil membangunkan
” waaa wis tekan ngendi iki mau Gong ?!!” Gareng terbangun sambil mengucek matanya
”Wis Gong, Si Gareng ora usah dibangunken, mengko wae dewekne ndak dhawuhane maca buku diktate sing ana ngomahe kae” tukas Panembahan Dewa Resi
”Waaah nuwun pangapunten Panembahan, kala wau dalu kula wonten pertandingan badminton sedalu natas, dados ngantuk sanget”
”Ya, ora dadi apa Gareng wis terusna anggonmu ngaso, aku tak ngomong karo wong loro iki wae”
”Inggih Panembahan”
”Wis Reng kana ndang mapan ning sor ringin, aku arep ngangsu kaweruh”
”Iya Gong, mengko yen ana bab kang wigati SMS-en wae”

Gareng segera meninggalkan pawiyatan siang itu. Dia memilih berbaring di bawah pohon beringin yang berada di depan rumah sang Dewa Resi.
Sementara itu Sang Dewa Resi melanjutkan kembali materi kepemimpinan menurut ajaran budaya Jawa.
”Dene menejemen miturut kawruh kejawen diperang ana telung babagan. Siji kantha, loro kanthi, katelu kanthong, ananging gandheng wektune wus ngancik wanci sarapan aku arep dhahar sarapan luwih dhisik, kowe sakaloron ngancanana Gareng ning sor ringin kana dhisik, sebab Nyai Resi mung sethithik anggone olah-olah mau, dadi ya sabar sauntara mengko yen wis mateng tak SMS” jelas panembahan sambil memasuki ruang makan
”Ooooo... bajul ucul, ndak kira arep dijak sarapan pisan, jebul malah kon ngglethak dhisik, wis ayo Truk aja suwe-suwe ning padhepokan keparat kene”
”Wis Gong ora usah emosi, manut wae awake dhewe, mengko rak ya sarapan bareng” jelas Petruk menentramkan.

Pemimpin yang Berbudi Bawa Leksana

Mendengar para punakawan sedang riuh tertawa, tiba-tiba Dewa Resi datang menghampiri.
”Ana apa para punakawan kok gayeng banget?”
”Wah, nuwun sewu panembahan, ini lho Petruk tadi bermimpi nganeh-anehi” sahut Bagong
”Ngimpi apa kowe Petruk?”
”Ah, nuwun pangapunten lho panembahan, perasaan kulo niku dalam mimpi kulo niku lha kok dilantik jadi rektor Universitas Ngawiyat mriki lho Panembahan, lha niku rak inggih mustahil to ?, lha wong ing ngatasnya saya, saja ndak pernah makan bangku sekolah, mboten saget maca tulis, napa malih thek kliweripun menejemen pendidikan, surat-menyurat, lan sanes-sanesipun, lha napa nggih universitas sing pun kondang ngriki saged majeng, lha kecuali menawi babagan arta menawi menika kula taksih saged ngetang untung ruginipun, lan menawi saged babagan arta menika menawi saged nggih untung terus....”
”Waaah kabeh wong, yen ngono wae ya isa ta le”sahut Gareng
”Pancen Petruk niku menawi babagan arta mboten purun kalah kok mbah, lha wong dhek wingi niku kula ngajokaken proposal kangge tumbas sarung,kaliyan rompi Punakawan ingkang sampun kumel menika dumateng ndara Putadewa, lha kok proposal sampun mandhap, angsal palilah saking ndara Punta, kula sing ndamel proposal dicampakkan begitu saja, lumayan kalau uang itu diwujudkan sesuai dengan proposal, lha kok ngertos-ngertos kula nggih pun angsal rompi kalih sarung ning sedaya rombengan ” timpal Bagong mengadu
”Apa ya bener kandane Bagong Petruk?”
”Leres !!, Panembahan, kula seksine!!” sahut Gareng meyakinkan
”Piye Petruk ?”
”Waaa, alamat surat kan ditujukan kepada saya panembahan, jadi saya ya yang paling berhak mencairkan dan mengoperasionalkan proposal niku Panembahan” jelas Petruk membela sekenanya

Panembahan Dewa Resi nampak menghela nafas dalam-dalam. Diusapnya pundak Petruk, Bagong dan Gareng yang tengah duduk di depannya. Kemudian rokok ’ting-we’ klobot jagung beraroma kemenyan segera dimatikan di lantai tanah. Nampak arang tembakau keluar, dan menghempaskan asap terakhir ke udara.
”Ngger Gareng, Petruk dan Bagong ...”
”Nggih , Panembahan...” jawab Punakawan serempak
”Mbok menawa wis dadi wataknya manusia..., Nalika Gusti Ingkang Akarya Jagad aweh pitakonan marang makhluk-makhluk ciptaane, sapa sing sanggup mikul amanahKu ning ndonya, kala semana amung menungsa sing ngaku sanggup, padahal sing jenenge amanah iku abot. Abote ngluwihi langit lan bumi, mula ora dadi barang aneh menawa ing jagad sak iki akeh para menungsa rebutan amanah, ngaku-aku menawa kabeh isa nyandang amanah. Lumrahing timba iku nggolek sumur, nanging sak iki kuwalik ngger, akeh sumur sing nggolek timba. Contone delengen kae ana sadengah prapatan, baliho-baliho para petualang amanah, pada pamer kapinterane, keprigelane, para dukun-dukun pada pamer kasektene, para pejabat pada pamer keberhasilane, para anggota dewan pada pamer pengaruhe dene para caleg pamer kapribadenne. ...
Ngger... senadyan ta kowe jejer dadi wong cilik, nanging atimu sing bawera ya ngger. Jejer pemimpin iku kudu Berbudi Bawa Leksana. Kowe iku uga pemimpin lho ngger, maka ungkapan tadi kamu pakai sebagai pedoman. 1) Berbudi maksudnya rela, iklas lahir batin legawa ing driya. Agung paring dana angganjar saben dina. Bawa Leksana, taat dengan apa yang telah diucapkan. Segala tindak-tanduk, bicara, solah bawa, harus dijaga, sebab akan ditiru oleh bawahannya. 2) Pangesthining tyas santosa, maksudnya hatinya teguh istiqamah, tidak berbicara dusta, tidak terpengaruh ucapan orang lain yang tidak ada dasar hukumnya, 3) Budi Sudibya, terampil mengolah bahasa, tanggap ing cipta sasmita, 4) Ambeg Paramarta ; amartani sabuwana, tidak pernah membuat sakit hati, menyengsarakan orang lain, harus pemaaf, sabar, maklum, dan tepaslira kepada sesama, 6) Anata,aniti,amariksa, amisesa; anata maksudnya sebagai pemimpin harus bisa mengatur pemerintahannya, termasuk administrasi, struktur, mekanisme kerja , kepangkatan, keuangan,kepegawaian,program kerja,kelangsungan dan kenyamanan kerja, dan lain-lain, aniti maksudnya sebagai pemimpin harus bisa memberi dan menerima masukan dari dan ke bawahannya, amariksa artinya bisa melihat kemudian tanggap, misalnya kalau ada yang berduka, maka kita harus menghibur, kalau ada yang miskin, tidak punya pekerjaan, kita harus bisa mempekerjakanya, amisesa, artinya semua yang melanggar hukum harus dipidanakan, tanpa pilih kasih. 7) Tanu-ita artinya sebagai pemimpin harus selalu tekun beribadah, manekung mring Gusti Kang Maha Agung, olah kapribaden supaya berjiwa suci dan agung. 8) Sama-ita, selalu berada di jalan lurus dan adil, 9) Darma-ita memiliki watak bijaksana, 10) Sara-ita, bisa menciptakan kepemimpinan yang tentram, melindungi semuanya hingga mereka merasakan ayem tentrem, sedangkan yang terakhir adalah seorang pemimpin harus mampu mangkat, matah, matrap dan mandum....”
”Maksude napa mbah ?”
”Iki bakal aku jelasken lain kali saja ya, simbah arep nonton pesta kembang api ning alun-alun dhisik ...”
”Ooooo ... dhasar resi katrok...” sergah Bagong kuciwa.

Mimpi Ki Lurah Petruk

Untuk sementara kita tinggalkan dulu prosesi pasamuan agung di negeri Ngamarta. Kita sekarang kembali ke pertapan Ngawiyat , sebuah Lab School, sekolah laboratorium para brahmana yang tengah ngangsu kaweruh kepada Dewa Bagus dan Dewa Resi- walau nuwun sewu, bangunannya kini mangkrak lantaran pimpronya kurang cermat dalam menghitung uang jajan dan menu makanan yang digunakan- sekarang nampak seperti benteng Portugis yang ditinggalkan oleh para serdadunya. Dewa Resi memilih menamakan lembaga itu dengan universitas terbuka (UT) Universitas Ngawiyat yang atapnya dari langit lantainya dari bumi, kalau hujan ketrocohan, panas ya jelas kepanasan.
Sementara itu di dalam Padhepokan Ngawiyat, Ki Lurah Petruk nampak tidur kelelahan di samping Raden Janaka yang sakit. Dalam tidurnya dia bermimpi kalau Sang Panembahan Dewa Resi masa jabatannya sebagai rektor UT Ngawiyat habis. Oleh karenannya atas dukungan, Gareng, Bagong, Togog dan Bilung, Petruk dijagokan menjadi rektor menggantikan Dewa Resi yang masa jabatannya habis.
Dalam mimpinya Petruk harus bersaing dengan dua kandidat rektor, Raden Janaka, dan Dewa Bagus. Tentu saja kesempatan itu digunakan oleh team sukses untuk menggalang dukungan dengan program-program mercusuar, sebuah program muluk-muluk yang belum tentu bisa mewujudkannya. Dan Petruk sendiri sebenarnya ndak mudeng blas dengan program buatan team suksesnya. Maklumlah kesehariannya Ki Lurah Petruk terkenal tidak tertib administrasi ” lha wong sekolah saya dulu aja pintar karena hasil kerpekan, lha kok ini disuruh jadi rektor apa ya bisa?”, batin ki Lurah Petruk dalam mimpinya. ”Ah sampeyan ndak usah kecil hati, semua biar diatur oleh team sukses” desak Gareng korlap team suksesnya.
Pada hari yang telah ditentukan, dalam mimpinya Ki Lurah Petruk harus bertarung dengan Raden Janaka, dan Dewa Bagus. Alhasil dalam pemilihan rektor Ngawiyat itu berakhir dengan perolehan suara 212. Dua suara untuk Petruk, satu suara untuk Dewa Bagus, dan dua suara lagi untuk Raden Janaka. Petruk dan BPH tercengang melihat hasil yang sangat mengejutkan itu. Mereka tak menyangka kalau Raden Harjuna yang masih degleng, stres karena perempuan itu masih mendapat dukungan. ”Padahal dia kini kan lagi stres, bahkan sembahyang saja ndak pernah, kenapa masih saja ada yang memilih”, batin Togog nggak habis mikir. Sedangkan Petruk hanya cengar-cengir, dia heran dengan angka 212 angka kegemarannya kok bisa muncul dalam kejadian yang penting di luar dugaannya. Memang, angka itu adalah angka idola yang selalu digunakan oleh pendekar pujaannya ’ Wiro Sableng’, pendekar nglejing dengan segudang kepura-purannya, tapi pintar bergaul karena ketampanan dan kesaktiannya.
Pada hari berikutnya, dalam mimpinya, para hulubalang mengadakan rapat tertutup untuk membicarakan hasil pemilihan rektor Universitas Ngawiyat tersebut. Keputusannya adalah, rektor difinitif harus ditetapkan oleh pimpinan pusat padhepokan. BPH harus membuatkan deskripsi objektif dari dua kandidat kepada pimpinan pusat padhepokan. Hal itu tentu saja membuat peluang Petruk lebih besar daripada Raden Janaka yang kini dalam kondisi stres berat, karena Petruk memang lebih kelihatan ’alim’ dibanding Raden Janaka yang doyan dengan para perempuan cantik.
”Yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini adalah kondisi jiwa dan raga kandidat. Kita jangan memilih orang yang sakit-sakitan, dengan kondisi kejiwaan yang labil” ujar Togog sambil mengusap air liurnya yang terus mengucur lewat bibir mulutnya yang dower.
” Betul kak Togog, di samping itu kita juga harus mempertimbangkan ketebalan iman seseorang...”
”Maksudnya apa Lung?”
”Kalau kita memilih Raden Janaka itu sama dengan memilih orang yang ndak tahu agama. Dia itu akhir-akhir ini sering melupakan kewajiban sembahyang berjamaah di sanggar pamujan, berbeda dengan Kang Petruk kak, ia akhir-akhir ini rajin sembahyang di sanggar pamujan, sekarang pilih mana? Pilih orang yang tebal iman apa yang tipis iman?, kalau pilih tebal iman ya pilih saja si Petruk, kalau pilih orang yang malas beribadah ya pilih saja si Janaka. Tapi aku yakin kok Kak Togog, sampeyan adalah orang yang tanggap dengan keyakinan seseorang, sampeyan ya bisa menilai kesehariannya,kang Petruk lebih pas dibanding dengan Janaka...” jelas Mbilung berandai-andai.
” Semua keteranganmu benar Lung , aku ya cenderung kepada si Petruk saja, untuk itu usulkan kepada Kang Semar agar masalah ini diteruskan kepada pimpinan pusat padhepokan”
”Yen nurut sampeyan gimana Kang Semar?” tanya Mbilung tiba-tiba
”Aih.. mbregegeg ugeg-ugeg sak ndulita hml...hml, aih, aku itu wis tuwa, jangan kamu katut-katutkan dengan masalah ini. Semar hanya mengingatkan, kalau masalah ini adalah masalah yang besar. Kalian jangan hanya melihatnya dari kacamata senang dan tidak senang, akan tetapi telitilah secara cermat kemampuan menejemennya. Banyak orang yang rajin beribadah, akan tetapi banyak dari mereka yang tidak menguasai administrasi. Padahal di dalam universitas ini segalanya harus berjalan sesuai dengan mekanisme administrasi, lha kalau rektornya saja tidak menguasai menejemen terus apa ya bisa administrasi berjalan, oleh karenanya Semar arep niteni menawa universitas yang sudah merangkak besar ini bakal ambruk kalau ini terus dilanjutken, luwih-luwih aku dewe wis ngerti keseharianne si Petruk, oleh karenanya aku ora sarujuk menawa Petruk dadi rektor, serahkan semua pada ahlinya, sebab sok sopoa sing dudu ahline samubarang bakal hancur ” jawab Semar sambil meninggalkan sidang.
”He Truk...Truk....Truk !!!, tangi !!!, kowe mau ngimpi apa?, kok ah...uh, ah
Uh...” teriak Bagong sambil memencet hidungnya Petruk
Petruk seketika terbangun dan duduk termangu. Ia bersyukur ternyata jabatan rektor, yang disandangnya hanya mimpi belaka. Seumpama dia betul yang menjabatnya, maka ini namanya wahyu kesasar.